Oleh : Imam Auladi
Soepeno lahir di kota Pekalongan pada tanggal
12 Juni 1946. Beliau merupakan anak dari seorang pegawai rendah di perusahaan
kereta api milik pemerintahan Belanda di Tegal bernama Soemarno. Soepeno
merupakan anak yang cukup aktif di dunia pendidikan. Beliau menyelesaikan
pendidikan Sekolah Menengah Atas (AMS) di Semarang sebelum nantinya beliau
melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Tinggi Teknik (Technische Hogeschool) di Bandung. Dua tahun berselang, Soepono
pindah dan melanjutkan pendidikan Sekolah Tinggi Hukum (Recht Hogeschool) di Batavia selama empat tahun. Disini beliau
tinggal di Asrama PPPI di Jalan Cikini Raya 171, bahkan menjadi ketua asrama. Semenjak
disinilah Soepeno makin tertarik untuk ambil bagian dalam era pergerakan
nasional.
Soepeno sangat aktif mengikuti berbagai macam
organisasi selama berada di Jakarta. Langkah awal yang dilakukan Soepeno dalam
pergerakan nasional adalah dengan bergabung dalam Perkumpulan Pelajar Pelajar
Indonesia (PPPI). Beliau terpilih menjadi ketua di organisasi ini, bahkan pada
tahun 1941 beliau juga terpilih menjadi pemimpin Badan Permusyawaratan Pelajar
Indonesia. Soepeno juga sempat tergabung menjadi anggota dari Indonesia Moeda (organisasi
pemuda Indonesia) di berbagai kota seperti Pekalongan, Tegal, Semarang dan
Bandung. Beliau juga sempat mendirikan Balai Pemuda di Solo dan menjadi ketua
disana. Karir organisasi Soepeno juga berlanjut sesudah menikah.
Menurut penuturan dari istri beliau Kamsitin
Wasiyatul Chakiki Danoesiswojo atau Tien Soepeno, Soepeno menjadi konseptor
sejumlah organisasi seperti Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) pada awal kemerdekaan. Soepeno
juga dipercaya sebahai ketua Badan Pekerja KNIP pada akhir tahun 1945. Soepeno
juga menjadi salah satu anggota perwakilan dari Badan Pekerja KNIP yang
menduduki kursi di Partai Sosialis pada akhir 1946 saat terjadi krisis pada
masa Kabinet Sjahrir III.
Sejumlah karir beliau di berbagai organisasi
semenjak beliau sekolah hingga menjadi salah satu pejabat negara inilah yang
akhirnya menjadikan beliau diangkat menjadi menteri Pembangunan dan Pemuda di
Kabinet Hatta I pada tahun 1948 dan pada masa ini pula beliau bergirlya kala
Belanda menginvasi Indonesia pada 19 Desember 1948. Invasi Belanda tersebut disebut
dengan Agresi Militer Belanda II. Invasi tersebut dimulai pada saat tanggal 19
Desember 1948, pasukan baret merah Belanda Korps
Speciale Troepen terjun merebut Lapangan Terbang Maguwo di Yogyakarta yang
kemudian disusul oleh pesawat-pesawat Dakota yang menurunkan pasukan komando
baret hijau Belanda. Mereka bergerak cepat menguasai Yogyakarta. Presiden
Soekarno, Perdana Menteri Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat pemerintahan
ditangkap. Sementara itu Jenderal Soedirman bergerak masuk hutan, memimpin TNI
untuk bergerilya. Soepeno yang tidak berada di Yogyakarta pada saat itu karena
sedang bertugas berhasil meloloskan diri dan akhirnya ikut bergerilya hingga
beberapa bulan sembari diburu pasukan Belanda. Ibarat kata pepatah, “Sepandai-pandai
tupai melompat, pasti akan jatuh juga”.
Soepeno dan rombongannya akhirnya tertangkap
oleh Belanda setelah berbulan-bulan bergerilya di Desa Ganter, Nganjuk setelah
Belanda menyerang wilayah Ganter pada 24 Februari 1949. Tentara Belanda
menyuruhnya jongkok dan mengintrogasi beliau. Soepeno awalnya sempat mengelak
dengan mengatakan bahwa dirinya merupakan merupakan penduduk daerah, tetapi
Belanda tetap tidak percaya begitu saja.
Setelah terus mengelak, pada akhirnya Belanda menembak Soepeno tepat
dibagian pelipis dan beliau tewas seketika. Tubuh Soepeno kemudian disemayamkan
di Nganjuk. Jenazah beliau kemudian dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Semaki,
Yogyakarta setahun kemudian. Soepeno diberi gelar Pahlawan Nasional Indonesia
atas jasanya tersebut. Namanya juga diabadikan menjadi nama jalan di Kota
Semarang. Patung Supeno pun dibangun di
Kompleks Stadion Jatidiri, Semarang.
0 comments:
Post a Comment