Allah SWT pastilah menyayangi hamba-Nya. Bentuk kasih sayang tersebut juga beragam, seperti: kesehatan, rezeki, dan lainnya. Namun, selain kenikmatan, kasih sayang Allah kepada hamba-Nya dapat berupa ujian. Pernyataan ini disampaikan oleh Kang Ghilman Ainuddin selaku Kepala Divisi (Kadiv) Amaliyah, Kajian, dan Dakwah (ADK) Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Universitas Diponegoro (Undip) dalam sesi Ceramah Pendek (Cerpen).
Semua orang pasti pernah mengalami ujian yang diberikan Allah. Entah dalam lingkup kuliah, sekolah, pertemanan, atau pun keluarga. Akan tetapi, ujian tersebut tentu berdasar dengan kemampuan masing-masing hamba-Nya. Allah tidak mungkin memberikan ujian melebihi batas kemampuan hamba-Nya. Ujian yang diberi juga bergantung pada kadar keimanan. Semakin kuat kadar keimanan seseorang, maka ujian atau masalah yang diberikan semakin berat.
Dalam sebuah Hadist yang diriwayatkan dari Mus’ab bin Sa’id, seorang Tabi’in, yang artinya “Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Rasulullah SAW menjawab, “Yaitu para Nabi dan Rasul, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya kuat, maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa mendapat cobaan atau ujian hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa”.
Berpangku pada hadist tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa manusia yang memiliki ujian paling berat ialah para Nabi dan Rasul. Jadi, kita yang merupakan manusia biasa perlu memahami bahwa ujian yang kita terima tidak terlalu berat dibandingkan ujian para Nabi dan Rasul. Sehingga kita harus yakin bahwa sesulit dan seberat apapun, kita dapat melewati ujian yang diberikan Allah.
Seseorang yang berhasil melewati ujian dari
Allah, maka akan diangkat derajatnya, bertambah keimanannya, hingga diampuni
dosa-dosanya. Oleh karena itu, hendaknya manusia berprasangka bahwa ujian ialah
bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya dan bukan sebaliknya, menganggap
bahwa Allah abai dan tidak memperhatikan hamba-Nya.
Penceramah: Ghilman Ainuddin
Penulis: Divisi Amaliyah, Kajian, dan Dakwah
(ADK) KMNU Undip
Editor: Diana Putri Maulida
0 comments:
Post a Comment