Ilmu dan perilaku merupakan dua hal yang berbanding
lurus dan harus berjalan beriringan. Ilmu akan sia-sia apabila tidak diiringi
dengan perilaku atau tindakan. Pun sebaliknya, perilaku atau tindakan yang
tidak didasari ilmu akan banyak salahnya. Pernyataan tersebut disampaikan oleh
Kang Rival Achmad Rajaby, Wakil Ketua Putra Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU)
Universitas Diponegoro (Undip) tahun 2022 dalam sesi Ceramah Pendek (Cerpen).
Sebagai seorang mahasiswa, sudah selayaknya
bisa menerapkan ilmu dan perilaku yang dijalankan secara beriringan. Sebab, di dalam
masyarakat, mahasiswa dianggap sebagai orang yang serba bisa atau
berpendidikan. Meskipun pada kenyataannya, di bangku perkuliahan, mereka kerap
kali terlambat masuk kelas, memiliki nilai jelek, atau bahkan bolos dengan
sengaja. Namun, masyarakat tidak mengetahui hal tersebut. Masyarakat tetap
menganggap mahasiswa sebagai orang yang berkesempatan untuk mengenyam pendidikan
tinggi. Sehingga, mereka akan tetap membebankan suatu tanggung jawab kepada mahasiswa.
Bentuk tanggung jawab serupa yang dibebankan oleh
masyarakat, contoh lainnya didapati pada diri seorang santri. Misalnya, santri ditunjuk
sebagai imam di mushola, diminta untuk memimpin yasin, tahlil, maulid, dan
sebagainya. Meskipun nyatanya, tak jarang ditemui beberapa dari mereka yang
masih sering bolos mengaji atau kesiangan mendirikan shalat subuh. Tetapi,
pandangan masyarakat terhadap santri tetap baik. Santri tak terbatas pada orang
yang mengenyam pendidikan di pondok pesantren saja. Mengutip dawuh KH.
Hasyim Ay`ari, “Siapa yang mengurusi NU, aku anggap sebagai santriku”, maka
sudah jelas, siapa saja yang mengurus sebuah lembaga atau organisasi yang
bernapaskan NU, juga merupakan seorang santri.
Mengenai ilmu dan perilaku, Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin membagi manusia dalam 4 golongan.
Pertama, Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri, yaitu orang yang tahu dan tahu bahwa dirinya tahu. Golongan pertama ini dapat disebut orang yang alim, dia bisa mengamalkan apa yang dia ketahui. Misalnya, dia tahu bahwa puasa bulan Ramadhan itu wajib, maka dia menjalankannya dan tidak meninggalkan puasa tersebut dengan sengaja.
Kedua, Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu
Yadri, yaitu orang yang tahu tetapi tidak tahu bahwa dirinya tahu. Jadi,
dia memiliki ilmu tapi tidak bisa mengamalkan ilmu yang dia ketahui. Misalnya,
dia tahu bahwa minum khamr itu haram, tapi dia masih minum khamr. Kita sebagai
Mahasiswa jangan sampai menjadi orang yang termasuk golongan kedua ini.
Ketiga, Rojulun Laa Yadri wa yadri Annahu
Laa Yadri, yaitu orang yang tidak tahu, tapi dia tahu bahwa dirinya tidak
tahu. Jadi, golongan ini merupakan orang yang bodoh dan sadar akan
kebodohannya. Sehingga, Dia memiliki kemauan untuk belajar. Misalnya, dia sadar
bahwa bacaan Qurannya masih kurang baik, maka dia mau belajar tajwid.
Keempat, Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri
Annahu Laa yadri, yaitu orang yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dia
tidak tahu. Istilahnya, dia adalah orang yang bodoh dan tidak mau belajar.
Jadi, golongan keempat ini merupakan golongan yang paling buruk. Kita sebagai
Mahasiswa jangan sampai mengabaikan apa yang belum kita ketahui.
Penceramah: Rival Achmad Rajaby
Penulis: Divisi Amaliyah, Dakwah, dan Kajian
(ADK) KMNU Undip
Editor: Diana Putri Maulida
0 comments:
Post a Comment