Bulan Agustus merupakan bulan yang sangat
bersejarah bagi kita semua, bagaiman tidak? Tepat pada tanggal 17 Agustus kita
semua memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, hari dimana kita
memproklamasikan kemerdekaan kita, melalui Bung Karno dan Bung Hatta. Bagi
warga Nahdliyin, memperingati Kemerdekaan merupakan sesuatu yang barangkali
menjadi keharusan sebagai wujud cinta tanah air serta untuk mengenang jasa dan
perjuangan pendahulu kita, termasuk para Kiai dan santri yang ikut berjuang
dalam kemerdekaan Indonesia. Dalam jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) mengajarkan
kepada kita untuk mencintai tanah air, karena mencintai tanah air merupakan
sebagian dari iman.
Mengingat cinta tanah air di kalangan
nahdliyin, rasanya menonton film Sang Kiai merupakan salah satu ikhtiar untuk
mengerti, memahami dan membaca Kembali sejarah dan perjuangan ulama NU yang
berperan dalam memperjuangkan tanah air. Paling tidak Film Sang Kiai menjadi
suatu alternatif dalam membaca secuil informasi atas apa yang telah dilakukan
oleh guru-guru, ulama, dan kiai kita terdahulu dalam mengambil sikap dan ambil
bagian dalam upaya melawan kolonialisme di Indonesia. Memang, Sang Kiai bukan
merupakan film yang baru, namun masih cukup relevan untuk disimak bersama dalam
rangka membaca kembali perjuangan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, seorang Tuan
Guru Besar pendiri organisasi islam, Nahdlatul Ulama (NU) yang memiliki basis
masa cukup besar di Indonesia, bahkan kini memiliki Pengurus Cabang Istimewa
(PCI) di luar negeri.
Tulisan ini bermaksud membaca kembali
bagaimana perjuangan Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari dalam Perjuangan
Kemerdekaan Indonesia yang divisualkan melalui film Sang Kiai garapan sutradara
Rako Prijanto dan diproduksi oleh Rapi Films. Dalam mengupas isi dan membuat
catatan kecil film ini, penulis telah menonton untuk kesekian kalinya sejak
pertama tayang di layar lebar pada tahun 2013 dan sempat diputar dalam kegiatan
nonton bareng di sebuah komunitas di Kendal. Beberapa poin penting dalam
tulisan ini dijabarkan ke dalam 4 sub-bahasan: Konsep Kemerdekaan Pesantren
adalah Kemandirian; Diplomasi Tingkat Tinggi dan Strategi Politik Kiai;
Resolusi Jihad dan Perjuangan Melawan Penjajah; dan Sebuah Refleksi: Agama dan
Nasionalisme.
Konsep
Kemerdekaan Pesantren adalah Kemandirian Pangan
Jika kita banyak membaca dari
informasi-informasi sejarah, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan salah satu tokoh
yang memperjuangkan kemandirian dalam setiap hal. Tidak dapat dipungkiri bahwa
ikhtiar untuk berdiri di atas kaki sendiri dan berkedaulatan atas pangan selalu
ditekankan oleh beliau. Hal ini tentu tercermin dari konsep pesantren yang
dikembangkan oleh beliau di Pondok Pesantren Tebuireng yang mandiri dengan.
Bahkan dalam Film Sang Kiai, menit awal 2.35 Sang Kiai menekankan bahwa kita
harus bisa mandiri, pesantren tidak boleh membebani biaya pada santri. Artinya
apa, bahwa tidak semua santri dan wali santri harus membawa hasil bumi sebagai
syarat masuk pesantren, tergantung pada kemampuan setiap individu, sehingga
tidak ada santri yang ditolak hanya karena tidak memiliki hasil bumi.
Sang Kiai digambarkan melaksanakan
aktivitas bertani dan berdagang dengan terjun secara langsung agar merasakan
jerih payah dan menghargai nasi yang dimakan oleh kita. Barangkali penulis
menyimpulkan konsep kemandirian pesantren yang digambarkan Kiai Hasyim Asy’ari
dalam Film Sang Kiai merupakan suatu konsep kemerdekaan pesantren. Bahwa
pesantren tidak boleh dikungkung dalam penjara finansial. Sehingga, santri bisa
pula dengan merdeka mengikuti aktivitas transfer pengetahuan dari Kiai tanpa
harus dibebankan pada persoalan pembiayaan ataupun finansial.
Kemerdekaan pesatren ini tentu dibarengi
dengan kesadaran bahwa negeri dan potensi alam di lingkungan sekitar sangat
luar biasa. Pada menit ke 7.08 Kiai Hasyim menyatakan bahwa negeri Indonesia
itu tanahnya subur dan memiliki rakyat yang banyak, tetapi melah menjadi negeri
jajahan. Kesadaran ini tentu juga melatarbelakangi spirit kemandirian yang
digemborkan dalam pesantren Tebuireng dengan pesawahan yang dikelola dari oleh
dan untuk pesantren itu sendiri, sebagai pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari
di pesantren. Perhatian Kiai Hasyim terhadap kemandirian pangan tentu terlihat
dari upayanya dalam menyampaikan dakwah tentang keutamaan bertani dan bercocok
tanam.
Dalam satu scene di Film Sang Kiai,
digambarkan bahwa ketika Pendudukan Jepang, Kiai Hasyim sempat menulis dalam
majalah Suara Muslimin Indonesia tentang anjuran memperbanyak hasil bumi dan
menyuburkan tanah. Meski sempat terjadi pro dan kontra karena tulisan atau
pendapat beliau dianggap mendukung dan membela pemerintah jepang yang meminta
menyetorkan hasil bumi. Padahal, beliau melalui masyumi hanya menyerukan untuk mengolah
tanah dan melipatgandakan hasil bumi tidak meminta menyetor kepada Jepang. Pada
menit 58.00 digambarkan bahwa seruan Jepang untuk melipatgandakan hasil bumi
direspon oleh Kiai Wahid karena belum tau kepentingan maksud dan tujuannya,
kemudia Kiai Hasyim berbicara kepada Kiai Wahid untuk mengikuti saja terlebih
dahulu, ketika terjadi penyelewengan maka harus ditolak. “Sesuatu ketaatan
apabila bercampur kemaksiatan yang tampak jelas, harus ditolak,” kata Kiai
Hasyim.
Diplomasi
Tingkat Tinggi dan Strategi Politik Kiai
Dalam Film Sang Kiai, kita dapat membaca
secara bagaimana perjuangan dan strategi yang dilakukan oleh Kiai Hasyim
Asy’ari dalam ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui cara-cara yang
diplomatis dan penuh strategi. Jika dilihat secara seksama, banyak sekali
visualisasi yang digambarkan dalam Film Sang Kiai terkait aktivitas diplomasi
antara Kiai Hasyim Asy’ari dengan penjajah. Melalui Kiai Wahid, Kiai Hasyim
merestui adanya sebuah strategi politik untuk berpura-pura bekerja sama dengan
Jepang memanfaatkan fasilitas Jepang dalam mempersiapkan kemerdekaan serta
membentuk panitia pembelaan terhadap ulama-ulama NU yang ditangkap Jepang.
Selain itu, beberapa strategi yang
dilakukan oleh Kiai Hasyim adalah dengan masuk ke dalam tubuh Shumubu (Kementerian
Agama di masa Penjajahan Jepang). Kiai Hasyim melihat bahwa ketidaktahuan
Jepang antara Shumubu dan Masyumi yang berbeda menjadi sebuah kesempatan
agar bisa memperjuangkan Indonesia dari dalam, dengan masuk ke Shumubu artinya
bisa mengambil kebijakan yang tidak merugikan rakyat. Kesempatan masuk ke Shumubu
diwakilkan kepada putranya, Kiai Hasyim Asy’ari.
Yang lebih menarik adalah diplomasi Kiai
Hasyim yang melakukan perundingan terkait tawaran Jepang untuk memberikan
pelatihan militer dengan masuk Heiho. Pandangan futuristis Kiai Hasyim akan
pasukan militer untuk menjaga pertahanan negeri sangat diperlukan. Sehingga,
ketika Jepang menawarkan para santri masuk Heiho dan bertempur melawan sekutu,
ditolak dengan elegan oleh Kiai Hasyim, dengan menegosiasi membentuk barisan
tersendiri dalam Pelatihan Militer bernama Barisan Hisbullah, sebatas menjaga
pertahanan dalam negeri. “Sebatas menjaga pertahanan negeri, tidak masuk ke
dalam Heiho tapi membentuk barisan tersendiri, bernama Hisbullah,” ujar Kiai
seperti divisualkan dalam Film Sang Kiai pada menit 1.22.00.
Tidak berlebihan, jika kita menyebut
beberapa strategi dan negosiasi dalam memanfaatkan Jepang tentunya menjadi
sebuah diplomasi tingkat tinggi ala Kiai Hasyim, sehingga, kelak ketika
Indonesia sudah menjadi negeri yang merdeka akan mendapatkan kebermanfaatan
dari aktivitas dan pelatihan militer yang dilakukan oleh Jepang, termasuk
masuknya Kiai Wahid dalam tubuh Shumubu yang merupakan cikal bakal Kementerian
Agama Republik Indonesia.
Resolusi
Jihad dan Perjuangan Melawan Penjajah
Pengorbanan Kiai Hasyim Asy’ari dalam
memperjuangkan dan mempetahankan kemerdekaan kiranya sangat paripurna.
Bagaimana tidak, hal itu beliau lakukan hingga pada akhir hayatnya masih memikirkan
bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang telah dideklarasikan oleh Bung Karno.
Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Kiai Hasyim memiliki dampak yang sangat besar
dalam perjuangan kemerdekaan yang sesungguhnya. Fatwa beliau tentang
mempelajari bahasa asing dan menulis huruf latin misalnya, barangsiapa yang
memahami bahasa asing akan terhindar dari muslihatnya. Saat itu banyak yang
mencerca, tetapi kemudian manfaatnya bisa dirasakan karena pendudukan Jepang
yang hanya memperbolehkan surat menyurat menggunakan huruf latin.
Fatwa lain yang cukup masyhur adalah
terkait Jihad Fi Sabilillah. Dimana saat itu, Bung Karno meminta fatwa dari
Kiai Hasyim akan hukum membela tanah air –bukan membela Allah, Islam maupun
Al-Qur’an. Kemudian keluarlah fatwa yang telah dimusyawarahkan oleh Kiai dan
Ulama NU, bahwa membela negara dan melawan penjajah adalah fardhu ain, bagi
setiap mukallaf yang berada dalam radius 94 kilometer. Perang melawan penjajah
adalah jihad fisabilillah, oleh karena itu umat Islam yang mati dalam
peperangan adalah sahid. Mereka yang menghianati perjuangan umat Islam dengan
memecahbelah persatuan dan menjadi kaki tangan penjajah wajib hukumnya dibunuh.
Dari fatwa itu pulalah, yang menjadi dasar
Bung Tomo untuk sowan dan meminta restu kepada Kiai Hasyim untuk membaca pidato
sebelum berperang dan menggelorakan semangat arek-arek suroboyo. Kemudian Kiai
Hasyim berpesan kepada Bung Tomo untuk memulai dan mengakhiri setiap pidato
dengan menyebut takbir, tanda kebesaran Allah. Pidato Bung Tomo inilah yang
menjadi pemantik api semangat arek-arek suroboyo dalam berperang melawan sekutu
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Bahkan, perjuangan Kiai Hasyim yang selama
ini dilakukan melalui jalur diplomasi tidak cukup karena beliau melihat perjuangan
masyarakat dan santri berperang langsung. Sehingga beliau sempat meminta kepada
putranya untuk dilatih menembak. “Belanda akhirnya akan sampai sini. Setidaknya,
Lebih baik Bapak mati melawan daripada ditawan belanda. Setidaknya, sebelum
Bapak mati, masih bisa menembak satu dua Belanda yang berani datang,” dawuhnya
seperti divisualkan dalam Film Sang Kiai.
Di akhir hayat beliau, seperti yang
divisualkan dalam Film Sang Kiai, Kiai Hasyim sempat diminta fatwa oleh utusan
Jenderal Soedirman terkait sepak terjang Belanda yang sangat mengkhawatirkan
dan menduduki tempat-tempat strategis. Mendengar beberapa kabar tersebut, Kiai
Hasyim akhirnya meninggal secara mendadak karena pendarahan yang sangat serius
di otak.
Sebuah
Refleksi: Agama dan Nasionalisme
Keteladanan dan dawuh-dawuh yang telah
banyak disampaikan Kiai Hasyim Asy’ari paling tidak bisa dijadikan oleh kaum
muslimin untuk tidak berhenti mempertahanankan kemerdekaan dan mencintai tanah
air. Jangan sampai kaum muda muslimin justru menjadi pengkhianat di negeri
sendiri dengan melakukan perpecahan hanya karena agama. “Kita tidak boleh
membiarkan pemerintah kafir mengambil alih negeri kita kembali, motif agama
adalah yang paling tepat digunaan saat ini, berdasarkan izzul islam wal
muslimin. Motif agama lalu motif nasionalisme,” pesan Kiai Hasyim Asy’ari.
Barangkali pendapat Kiai Wahid dalam film
Sang Kiai jadi pedoman kita untuk beragama dan bernegara, “Agama dan
nasionalisme bukanlah dua kutub yang saling berseberangan. Berawal dari agama,
lalu akan timbul nasionalisme. Nasionalisme adalah bagian dari agama,” ujar
Kiai Wahid. Pesan ini nampaknya jadi refleksi kita saat ini yang masih sering
membenturkan antara konsep beragama dan bernegara. Film Sang Kiai memberikan
kita banyak pelajaran, terutama bagi kaum muda muslim untuk selalu
mengkombinasikan sikap cinta tanah air sebagai bagian dari kehidupan beragama.
Meski film pada dasarnya adalah sebuah
tontonan fiksi, namun banyak di antaranya yang merupakan sejarah yang teramat
penting. Paling tidak kita bisa film ini bisa dijadikan refleksi untuk melihat
dan membaca kembali secara langsung bagaimana gambaran perjuangan tokoh kita,
Rais Akbar Nahdlatul Ulama, Kiai Hasyim Asy’ari. Semoga kita semua dimasukkan
ke dalam golongan dari santri beliau, seperti dalam dawuhnya: Siapa yang
mengurus NU, saya anggap santriku.
17
Agustus 2021
0 comments:
Post a Comment