Mengenal Ulama “Imam Al-Ghazali”
Oleh: Kang Dimas
Siapakah yang tak kenal dengan Imam Al-Ghazali? Seorang imam besar dan ahli pikir ulung Islam dengan gelar atau julukannya “Hujjatul Islam” atau “Pembela Islam”, “Zainuddin” atau “Hiasan Agama”, “Bahrun Mughriq” atau “Samudera yang Menghanyutkan”, dan masih banyak lagi gelar-gelar yang ditujukan pada beliau.
Imam Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi as-Syafi’i al-Ghazali. Beliau lahir di daerah Thus, Khusaran, Iran pada tahun 450 H/1058 M.
Imam Al-Ghazali berasal dari keluarga yang religius dan sederhana sebagai bentuk pengamalan tasawuf. Ayahnya bekerja sebagai pemintal dan penjual wol untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Selain itu ayahnya seringkali mengunjungi ulama-ulama untuk mendengar petuah dari ulama tersebut dan berdoa agar dikaruniai anak yang kelak menjadi seorang ulama besar yang pandai dan mampu meneruskan ilmu-ilmunya untuk kemaslahatan umat muslim kedepannya.
Ayah dari Imam Al-Ghazali meninggal ketika Imam Al-Ghazali masih muda. Meskipun kebersamaannya dan Imam Al-Ghazali hanya sebentar, namun warisan berupa ilmu yang diberikan kepada Imam Al-Ghazali dan Ahmad Al-Ghazali, adiknya, sangatlah luas. Mulai dari ilmu tentang kejujuran dari seorang yang miskin, ilmu tentang usaha bertenun kain wol, serta ilmu tentang memetik ilmu pengetahuan dan membaginya kepada yang membutuhkan pengetahuan.
Imam Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih kepada Syekh Ahmad bin Muhammad ar-Razikani pada masa kecilnya. Kemudian melanjutkan belajarnya kepada Imam Ali Nasar al-Ismaili. Kemudian melanjutkan berlajar pada Imam al-Haramain hingga dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok seperti ilmu mantik (logika), filsafat, dan fiqih Mazhab Syafi’i
Pada tahun 484 H/1091 M, beliau menjadi guru di madarasah Nizhamiyah di Baghdad setelah diutus oleh Nizamul Mulk, pendiri madrasah Nizhamiyah. Selama mengajar di Baghdad inilah beliau mengarang banyak sekali kitab Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz, Al-Khalasah Fi Ilmil Fiqh, Al-Munqli Fi Ilmil Jadl, Ma’khudz Al- Khilaf, Lubab Al-Nadhar, Tahsin Al-Maakhidz dan Mabadi’ Wal Ghāyat Fi Fannil Khilaf.
Imam Al-Ghazali memiliki keunikan yang membuat para ulama masa itu terheran-heran dalam mengkaji ilmu untuk dituliskan dalam kitab karangannya. Keunikan berupa menggunakan metode thariqah al-mukasyafah (metode penyingkapan metafisika) berupa mencium hadits-hadits untuk mengkategorikan apakah hadits itu shahih atau tidak. Hadits yang shahih akan tercium semerbak wangi sedangkan hadits dha’if atau maudhu’ tidak tercium bau wangi.
Setelah 4 tahun mengajar, Imam Al-Ghazali diamanahi menjadi pemimpin tertinggi di madrasah Nizhamiyah tersebut. Meskipun telah mendapatkan amanah dengan pangkat yang tinggi, itu bukan menjadi tolak ukur bagi Imam Al-Ghazali menjadi seorang ulama besar. Justru itulah yang membuatnya bimbang akan akidah dan ma’rifat.
Beliau memutuskan untuk mencari kebenaran dan pergi meninggalkan Baghdad dan memulai kehidupan zuhudnya dengan meninggalkan segala kenikmatan dunia dan menikmati hidup seperlunya. Kehidupan yang berubah drastis selama masa hidup zuhudnya inilah membuat seorang imam besar yang tersohor menjadi seorang masyarakat biasa yang tak dikenal orang
Hingga beberpa tahun kemudian, beliau mengisolasi diri di Mekkah lalu berpindah ke Damaskus untuk beribadah dan menjalani kehidupan sufi. Beliau menghabiskan waktunya dengan berkhalwat, ibadah, dan I’tikaf di masjid Damaskus. Kemudian beliau melanjutkan perjalanannya ke baitul Maqdis lalu kembali ke Mekkah untuk melaksanakan haji dan berziarah ke makam Rasulullah SAW.
Dari Mekkah, beliau meneruskan perjalanan ke Damsyik dan beri’tikad di masjid Al-Umawi. Di sini beliau menyusun kitab berjudul Ihya’ Ulumuddin.
Pada 14 Jumadil Akhir 505 H/19 Desember 1111 M, beliau mengehembuskan napas terakhirnya. Setelah beliau kembali ke Baghdad untuk mengajar kembali atas permintaan Fakr Al-Muluk, putra Nizam Al-Muluk.
Begitu besar pengaruh Imam Al-Ghazali sebagai pemikir kritis Islam yang membuatnya banyak ditulis oleh akademisi dari timur dan barat. Tak hanya itu, sifat zuhud yang begitu luar biasa yang hanya berfokus dalam ketaatannya kepada Allah dan meninggalkan segala urusan dunia yang tidak perlu membuatnya dipercaya oleh sejumlah ulama mencapai derajat wali seperti dikisahkan oleh Syaikh Al-‘Arif Abi Hasan Al-Sydzili bermimpi melihat Rasulullah SAW yang membicarakan kealiman dari Imam Al-Ghazali bersama Nabi Musa AS dan Isa AS.
Sumber :
https://an-nur.ac.id/riwayat-hidup-al-ghazali/
https://umma.id/post/kisah-perjalanan-hidup-imam-al-ghazali-746718?lang=id
0 comments:
Post a Comment