Animasi Logo NU

  • Terkini!

    February 1, 2017

    SEJARAH NAHDLATUL ULAMA

    SEJARAH NAHDLATUL ULAMA


    Lahirnya NAHDLATUL ULAMA dimulai dengan adanya kelompuk yang melakukan  pembaruan agama islam yang anti maulid, anti ziarah, anti tawasul, dll. Bertentangan dengan Ahlussunnah Wal Jamaah An Nahdliyah. Hal itu disebabkan karena jatuhnya kota Hijaz ke penguasa lain. Maka dari sinilah awal NAHDLATUL ULAMA harus didirikan. Berikut adalah alur sebelum didirikannya NAHDLATUL ULAMA

    1PEMBARUAN ISLAM & TAKLUKNYA WILAYAH HIJAZ
    661-728 H / 1263-1328 M atau abad ke 7 – 8 H / 13 – 14 M yakni 700 tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat atau 500 tahun dari masa Imam asy-Syafi'i. Ajaran-ajaran Para Pembaharu Agama Islam (Mujaddid) yang dimulai dari Ibnu Taimiyyah. Beliau mengaku penganut madzhab Hanbali, namun anehnya beliau justru menjadi orang pertama yang menentang sistem madzhab. Pemikirannya dilanjutkan oleh muridnya Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah. Aliran ini kemudian dikenal dengan nama aliran salafi-salafiyah yang mengaku memurnikan ajaran kembali ke al-Qur'an dan Hadits, tetapi di sisi lain mereka justru mengingkari banyak hadits Shahih. Mereka ingin memberantas bid'ah tetapi pemahaman tentang bid'ahnya melenceng dari makna bid'ah yang dikehendaki Rasulullah SAW dan yang dipahami oleh para sahabat dan para ulama salaf Ahlussunnah wal Jama'ah.
    Selain itu, mereka juga membangkitkan kembali penafsiran Al-Qur'an & Sunnah secara Lafdziy (Al-Qur’an dan Sunnah hanya bisa diartikan secara tekstual (apa adanya teks) dan tidak ada arti majazi atau kiasan di dalamnya). Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi. Jika kita tidak dapat membedakan di antara keduanya maka kita akan menjumpai beberapa kontradiksi yang timbul di dalam Al-Qur’an. Maka dari itu sangatlah penting untuk memahami masalah tersebut. Penafsiran Al-Qur'an & Sunnah secara lafdziy akibatnya mereka memberi sifat secara fisik kepada Allah SWT (diibaratkan Alloh SWT mempunyai tangan, kaki, mata dan lain-lain seperti makhlukNya). Mereka juga mengatakan terdapat kursi yang sangat besar (‘Arsy) dimana Allah SWT duduk sehingga Alloh membutuhkan ruangan atau tempat untuk duduk) di atasnya. Terdapat banyak masalah lainnya yang diartikan secara tekstual. Hal ini telah membuat banyak fitnah di antara ummat Islam, dan inilah yang paling pokok dari mereka yang membuat berbeda dari madzhab yang lain.
    Lalu Muncul Muhammad bin Abdul Wahab di abad ke 12 H / 18 M, seorang pembaharu agama yang lahir di Ayibah lembah Najed (1115-1201 H/1703-1787 M) yang mengaku sebagai penerus ajaran Salafi Ibnu Taimiyyah dan kemudian mendirikan madzhab Wahabi atau Wahabiyyah. Ia mengaku sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah karena meneruskan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal yang diterjemahkan oleh Ibnu Taimiyyah, tapi sebagaimana pendahulunya, Muhammad bin Abdul Wahab dan pengikutnya mudah mengkafirkan para ulama yang tidak sejalan dengannya, bahkan sesama madzhab Hanbali pun ia mengkafirkanya Berikut adalah beberapa pengkafiran Muhammad bin Abdul Wahab:
    ·         Dalam sebuah surat yang dilayangkan kepada Syeikh Sulaiman bin Sahim –seorang tokoh madzhab Hanbali pada zamannya– Ia (Muhamad Abdul Wahhab) menuliskan: “Aku mengingatkan kepadamu bahwa engkau bersama ayahmu telah dengan jelas melakukan perbuatan kekafiran, syirik dan kemunafikan! Engkau bersama ayahmu siang dan malam sekuat tenagamu telah berbuat permusuhan terhadap agama ini! Engkau adalah seorang penentang yang sesat di atas keilmuan. Dengan sengaja melakukan kekafiran terhadap Islam. Kitab kalian itu menjadi bukti kekafiran kalian!” (Refrensi : ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 31)
    ·         Dalam sebuah surat yang dilayangkan untuk Ibnu Isa –yang telah melakukan argumentasi terhadap pemikirannya –Muhammad Abdul Wahhab menvonis sesat para pakar fikih (fuqoha) secara keseluruhan. Ia (Muhamad Abdul Wahhab) menyatakan: (Firman Allah); “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”. Rasul dan para imam setelahnya telah mengartikannya sebagai ‘Fikih’ dan itu yang telah dinyatakan oleh Allah sebagai perbuatan syirik. Mempelajari hal tadi masuk kategori menuhankan hal-hal lain selain Allah. Aku tidak melihat terdapat perbedaan pendapat para ahli tafsir dalam masalah ini.” (Refrensi : ad-Durar as-Saniyah jilid 2 hal. 59).
    ·         Berkaitan dengan Imam Fakhrur Razi –pengarang kitab Tafsir al-Kabir, yang bermadzhab Syafi’i Asy’ary– ia (Muhamad Abdul Wahhab) mengatakan: “Sesungguhnya Razi tersebut telah mengarang sebuah kitab yang membenarkan para penyembah bintang.” (Refrensi :  dalam ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 355).
    Betapa kedangkalan ilmu Muhamad bin Abdul Wahhab terhadap karya Imam Fakhrur Razi. Padahal dalam karya tersebut, Imam Fakhrur Razi menjelaskan tentang beberapa hal yang menjelaskan fungsi gugusan bintang dalam kaitannya dengan fenomena yang berada di bumi, termasuk berkaitan dengan bidang pertanian. Namun Muhammad bin Abdul Wahhab dengan keterbatasan ilmu terhadap ilmu perbintangan telah menvonisnya dengan julukan yang tidak layak, tanpa didasari ilmu yang cukup.
    Dari berbagai pernyataan di atas maka jangan kita heran jika Muhammad bin Abdul Wahhab serta diikuti oleh para pengikutnya (Wahhabi) pun mengkafirkan para pakar teologi (mutakallimin) Ahlusunnah secara keseluruhan (Refrensi : ad-Durar as-Saniyah jilid 1 hal. 53), bahkan Muhamad Abdul Wahhab mengaku-ngaku bahwa kesesatan para pakar teologi tadi merupakan ijma’ para ulama dengan mencatut nama para ulama seperti adz-Dzahabi, Imam Daruquthni dan al-Baihaqi.
    Tokoh Pembaharu Agama lain penerus faham salafi Ibnu Taimiyyah adalah muncul pada abad ke 19 di Afghanistan yang bernama Jamaluddin al-Afghani (1838-1898). Ajarannya diteruskan oleh muridnya dari Mesir di abad ke 19 – 20 M yang bernama Muhammad Abduh (1949-1905). Pada saat inilah KH Muhammad Hasyim Asyari sedang menimba ilmu di Mekkah. Kemampuannya dalam ilmu hadits KH Muhammad Hasyim Asyari diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi di Mekkah. Selama 7 tahun KH Muhammad Hasyim Asyari berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, KH Muhammad Hasyim Asyari juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH. Hasyim Asyari  dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru. Yang perlu ditekankan, saat KH Hasyim Asyari belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk tentu saja KH Hasyim Asyari. Ide reformasi Abduh itu ialah
    1.      Mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam.
    2.      Reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas
    3.      Mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern.
    4.      Mempertahankan Islam.
    Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan KH Hasyim Asyari. Beliau sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi beliau menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Beliau berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya
     Pemikiran Muhammad Abduh menyebar ke berbagai penjuru dunia lewat tulisannya yang dimuat dalam majalah al-Manar. Setelah beliau wafat pada tahun 1905, majalah al-Manar diteruskan oleh muridnya yang bernama Muhammad Rasyid Ridla (1865-1935). Kumpulan tulisan Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridla ini kemudian dibukukan menjadi Tafsir al-Manar.
    Dalam perkembangannya aliran Salafi-Wahabi pun terpecah dalam banyak faksi (kelompok) dengan karakteristiknya masing-masing, tergantung pada imam mana yang diikutinya. Tokoh ulama Wahabi yang menjadi rujukan dan panutan saat ini adalah Muhammad Nashiruddin al-Albani seorang dosen Ilmu Hadits di Universitas Islam Madinah yang lahir pada tahun 1915 dan wafat 1 Oktober 1989. Ia dipuja-puja kaum Wahabi-Salafi bahkan dianggap lebih alim dari Imam Bukhori, karena ia men-Takhrij/mengomentari beberapa haditsnya Imam Bukhori (194 – 256 H).
    Ajaran Salafi-Wahabi ini masuk ke Indonesia mulanya:
    1.      Dibawa oleh seorang tokoh pembaharu agama (mujaddid) asal Yogyakarta yang bernama Darwis yang aktif dan rutin mengikuti pemikiran Muhammad Abduh-M. Rasyid Ridla lewat majalah al-Manar dan ajaran Wahabi. Ia kemudian dikenal dengan nama KH. Ahmad Dahlan yang pada 18 Nopember 1912 mendirikan organisasi keagamaan Muhammadiyyah. Walaupun kenyataannya dalam amaliyah sehari-hari selama hidupnya KH. Ahmad Dahlan lebih dekat kepada madzhab Syafi’i. Namun sepeninggal beliau terjadi modernisasi total dari para penerusnya.
    2.      Syaikh Akhmad Soorkati (1872-1943) seorang tokoh pembaharu (mujaddid) asal Sudan yang kalah bersaing dalam Jami'at al-Khair di negaranya, kemudian Hijrah ke Indonesia dan tahun 1914 di Betawi mendirikan organisasi al-Irsyad.
    3.      Di Bandung pun muncul Mujaddid yang bernama A. Hasan yang juga dikenal sebagai Hasan Bandung atau Hasan Bangil yang tahun 1927 meneruskan organisasi PERSIS (Persatuan Islam) yang didirikan pada 1923 oleh KH. Zam Zam Palembang.
    4.      HOS. Cokroaminoto dengan PSII (Persatuan Syarikat Islam Indonesia).

    Apa yang Menyebabkan Aliran "Islam Baru” dapat menyebar dengan Cepat?
    Muhammad bin Abdul Wahab pernah menguji coba ajaranya kepada penduduk Bashrah, tetapi karena mereka adalah penganut fanatik ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, maka usahanya bagaikan menabrak batu karang. Kemudian Muhammad bin Abdul Wahhab menetap di Dir’iyah dan Pangeran Muhammad ibn Saud (dari Dir’iyah Najed) setuju untuk saling dukung-mendukung dengan Wahabi. (Baca : Dir’iyah adalah rumah asli dari keluarga kerajaan Arab Saudi)
    Keluarga Saud dan pasukan Wahabi berkembang menjadi dominan di semenanjung Arabia, pertama menundukkan wilayah Najed, lalu memperluas kekuasaan mereka ke pantai timur dari Kuwait sampai Oman. Orang Saudi juga mengambil alih tanah tinggi 'Asir di bawah kedaulatan mereka dan pasukan Wahabi mereka mengadakan serangan di Irak dan Suriah, dan menguasai kota suci Shi'ah, Karbala tahun 1801.
    Hingga pada tahun 1802, pasukan Saudi-lasykar Wahabi merebut kota Hijaz (Jeddah, Makkah, Madinah dan sekitarnya) di bawah kekuasaan mereka. Hal ini menyebabkan kemarahan Daulah Utsmaniyah Turki, yang telah menguasai kota suci sejak tahun 1517, dan membuat Daulah Utsmaniyah bergerak. Tugas untuk menghancurkan Wahabi diberikan oleh Daulah Utsmaniyah Turki kepada raja muda kuat Mesir, Muhammad Ali Pasha.Beliau lalu mengirim pasukannya ke Hijaz melalui laut dan merebutnya kembali. Anaknya, Ibrahim Pasha, lalu memimpin pasukan Utsmaniyah ke jantung Najed, merebut kota ke kota. Akhirnya, Ibrahim mencapai ibukota Saudi, Dir’iyah dan menyerangnya untuk beberapa bulan sampai kota itu menyerah pada musim dingin tahun 1818.
    Ibrahim lalu membawa banyak anggota klan (Keluarga) Al Saud dan Ibn Abdul Wahab ke Mesir dan Ibukota Utsmaniyah, Istanbul Turki, dan memerintahkan penghancuran Diriyah, yang reruntuhannya kini tidak pernah disentuh kembali. Pemimpin Saudi terakhir, Abdullah bin Saud dieksekusi di Ibukota Utsmaniyah, dan kepalanya dilempar ke air Bosphorus. Sejarah kerajaan Saudi Pertama berakhir. Namun, Wahabi dan klan Al Saud hidup terus dan mendirikan kerajaan Saudi Kedua yang bertahan sampai tahun 1891.
    Mereka mencampurkan anatar agama, ambisi kekuasaan, dan kepentingan asing jadi satu. Hal ini dimulai dari wilayah Najed. Ketika pasukanWahabi dan klan Al Saud yang dipimpin Abdul Aziz Ibnu Sa'ud menyusun kekuatan kembali disertai dukungan persenjataan mesin dari sekutu lamanya, Inggris dan Amerika. Maka awal tahun 1900-an mereka menyerang kembali kota Hijaz yang saat itu dipimpin Raja Syarif Husain. Ketika itu Hijaz hanya dibantu oleh Daulah Utsmaniyyah Turki yang sudah mulai lemah, dan akhirnya pada tahun 1924 ketika kekuasaanya sudah mengecil Raja Syarif Husain mengasingkan diri ke kepulauan Cyprus dan kekuasaanya diserahkan pada putranya yang bernama Raja Syarif Ali. Raja Syarif Ali membuat kota-kota pertahanan baru, tapi pasukan Wahabi dan klan Al Sa'ud dengan persenjataan canggih berhasil mengepung semua kota, hingga yang tersisa hanya pertahanan di pelabuhan Jeddah. Pada ahir 1925 mereka berhasil menguasai pelabuhan Jeddah, maka Raja Syarif Ali menyerah pada pemberontak.
    Dari tahun 1925 inilah Hijaz dengan dua kota suci Makkah dan Madinah dikuasai oleh keluarga Sa'ud dan Wahhabi. Dan ahirnya tepat tanggal 23 September 1932, Hijaz berubah nama menjadi al-Mamlakah al-'Arabiyyah as-Sa'udiyyah, Kerajaan Arab Sau'di, yang dinisbatkan kepada nama leluhurnya yakni Al Sa'ud, dengan Ibukotanya Riyadh.
    Jatuhnya Hijaz ke tangan pemberontak pada 1925 tidak hanya berakibat perubahan pemeritahan, tapi juga merombak total praktek-praktek keagamaan di Hijaz dari yang semula Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi faham Wahabi. Seperti larangan bermadzhab, larangan ziarah ke makam-makam pahlwan Islam, larangan merokok, larangan berhaji dengan cara madzhab. Bahkan makam Rasulullah SAW, sahabat-sahabat dan tempat bersejarah pun berencana akan digusur karena dianggap sebagai tempatnya kemusyrikan.
    Ketika aliran Salafi-Wahhabi berkembang di Dir’iyyah maupun Najed itu belumlah membuat risau umat Islam dunia. Tetapi ketika mereka menguasai pusat Islam yakni dua kota suci di Hijaz, maka hal ini menimbulkan dampak yang luar biasa, termasuk dalam persebarannya ke seluruh dunia. Melihat perubahan ajaran yang terjadi di Hijaz, maka hampir semua umat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di seluruh dunia memprotes rencana pemerintahan baru di Hijaz yang ingin memberlakukan asas tunggal, yakni madzhab Wahabi.
    Tahun 1943 muncullah ARAMCO (Arabian-American Company) yang mengeksplorasi minyak Arab Saudi. Dari sejarah itulah, mengapa sampai saat ini Arab Saudi selalu tidak bisa bersuara selain seperti suara Amerika, sekalipun harus berbeda dengan negara-negara Islam lainnya.

    2.      KONDISI DI NUSANTARA
    Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
    Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik. Dimana pada saat inilah Klan Al Saud dan paham wahabi sedang maraknya tersebar di seluruh dunia Islan tak terkecuali di Indonesia.
                Kisah dibawah ini diambil dari ceramah Alm. KH. As’ad Syamsul Arifin tentang sejarah NAHDLATUL ULAMA
    Umat islam di Indonesia kurang lebih 7 abad yang lalu. Para auliya, pelopor-pelopor Rosululloh SAW yang masuk ke Indonesia membawa syariat Islam menurut aliran salah satu dari empat madzhab yang dibawa adalah islam menurut orang sekarang Islam Ahlussunnah Wal Jamaah, Khususnya Madzhab Syafi’i yang terbesar di Indonesia. Mazhab lain juga ada yang termasuk Ahlussunnah Wal Jamaah yaitu madzhab Hanafi, madzhab Maliki, dan madzhab Hanbali. Inilah yang disebut 4 Madzhab dalam NAHDLATUL ULAMA. Termasuk yang dibawakan oleh para Walisongo.
                Kira-kira tahun 1920, waktu KH As’ad ada di Bangkalan (Madura), tepatnya di pondoknya Kyai Kholil. Pada tahun yang sama juga, Kyai Muntaha Jengkebuan menantu Kyai Kholil Bangkalan mengundang tamu para ulama dari seluruh Indonesia, secara bersamaan tidak berjanji datang semua, sejumlah 66 ulama dari seluruh Indonesia yang hadir. Masing-masing ulama melaporkan. Salah satu ulama melaporkan “Bagaimana Kyai Muntaha, tolong sampaikan kepada Kyai Kholil, saya tidak berani menyampaikannya. Ini semua ssudah berniat untuk sowan kepada Hadratus Syaikh (Kyai Kholil Bangkalan), ini tidak ada yang berani kalau bukan anda yang menyampaikannya”. Lalu kyai Muntaha menjawab “Apa perlunya?”, lalu dijawab kembail oleh Kyai yang baru saja melaporkan, “Begini, sekarang ini mulai ada kelompok-kelompokyang sangat tidak senang dengan ulama salaf, tidak senag dengan kitab-kitab ulama salaf, yang diikuti hanya Al-Quran dan Hadist saja, yang lain tidak perlu diikuti. Bagaimana pendapat pelopor-pelopor Walisongo karena ini yang sudah berjalan di Indonesia. Sebab rupanya kelompok ini melalui kekuasaan pemerinah jajahan Hindia Belanda tolong sampaikan kepada Kyai Kholil.”
                Sebelum para tamu tersebut sampai ke kediaman Kyai Kholil dan masih di Jengkuba. Kyai Kholil menyuruh Kyai Nasib, “Nasib, Kesini! Bilang kepada Muntaha, di Al-Quran sudah ada keterangan, sudah cukup” lalu Kyai kholil mengutip Al-Qur’an Surat At- Taubat ayat 32
    Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Alloh dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Alloh tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukainya.”
    Jadi kalau sudah dikehendaki oleh Alloh Ta’ala maka kehendaknya yang akan terjadi, tidak akan gagal.
    Jadi para tamu belum sowan sudah dijawab oleh Kyai Kholil. Inilah karomah seorang waliyulloh.
                Tahun 1921-1922 ada musyawarah di Kawatan (Surabaya) di rumah Kyai Mas Alwi. Ulama berkumpul sebanyak 46, bukan 66. Namun hanya seluruh jawa. Diantara ulama yang ikut musyawarah antara lain ayahanda dari Kyai As’ad Syamsul Arifin yaitu KH Syamsul Arifin. Ada juga Kyai Sidogiri, Kyai Hasan (Genggong), serta dari barat Kyai Asnawi (Kudus), Ulama-ulama jombang, Kyai Thohir. Namun musyawarah tersebut tidak mencapai suatu kesimpulan.
                Hingga tahun 1923. Salah satu Kyai (KH Hasyim Asyari) mendirikan Jamiyah (Organisasi). Belum ada NU, sementara yang lain sudah merjalela. Tabbaruk-tabbaruk sudah tidak boleh, ziarah kubur tidak diperbolehkan, tahlilan dilarang. Sudah ditolak oleh kelompok-kelompok tadi (Baca : Wahabi). Kemudian ada satu ulama yang matur sama Kyai Kholil, “Kyai, saya menemukan satu sejarah tulisan Sunan Ampel. Beliau menulis seperti ini. Waktu saya (Sunan Ampel Raden Rahmatulloh) mengaji ke paman saya di madinah, saya pernah bermimpi bertemu Rosululloh SAW. Seraya berkata kepada saya (Raden Rahmat), “Islam Ahlussunnah Wal Jamaah ini bawa ke Indonesia, karena ditempat kelahirannya (Arab)  ini sudah tidak mampu melaksanakan Syariat Islam Ahlussunnah Wal Jamaah, bawa ke indonesia”. Jadi di arab sudah tidak mampu melaksanakan syariat islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Pada zaman Maulana Ahmad belum ada istilah Wahabi, belum ada istilah apa-apa.
                Ulama-ulama Indonesia ditugaskan melakukan wasiat tersebut. Jadi ulama-ulama melakukan istikharah, ada pula yang ziarah makam walisongo kurang lebih selama 40 hari. Akhirnya ada 4 ulama yang ditugaskan ke Madinah.
                Akhirnya, tahun 1923 semua berkumpul, sama-sama melaporkan hasilnya, hasil laporan tersebut tidak diketahui siapa yang memegang, apakah Kyai Wahab atau Kyai Bisri.
    Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah. Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan. Sementara dari jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim
    Akhirnya Kyai Kholil memanggil Kyai As’ad yang pertama. Mulannya Kyai As’ad yang masih menjadi santri sedang mengaji di pagi hari dimarahi oleh Kyai Kholil lantaran tidak bisa mengucapkan huruh Ra’. Kyai As’ad mulanya pelat (cadel).                                    Kyai Kholil marah :”Bagaimana kamu membaca Al-Quran kok seperti ini? Diseengaja atau tidak?” lalu Kyai As’ad menjawab, Tidak saya sengaja Kyai, saya ini pelat”. Kyai Kholil lalu keluar (Dikisahkan Kyai Kholil melakukan susuatu). Kemudian keesokan harinya pelat (cadel) Kyai As’ad hilang. Inilah salah satu kekeramatan Kyai Kholil yang diberikan kepada Kyai As’ad.
    Panggilan kedua Kyai Kholil kepada Kyai As’ad. Beliau Kyai Kholil bertanya, “Mana yang cadel itu? Sudah sembuh cadelnya?”.
    Kyai As’ad menjawab, “Sudah Kyai”.
    Lalu Kyai Kholil memanggil, “Kesini, besok kamu pergi ke Hasyim Asyari Jombang. Tahu rumahnya kan?”
    Kyai As’ad menjawab, “Tahu Kyai”
    Kyai Kholil kembali bertanya, “Kok tahu? Pernah mondok disana?”
    Kyai As’ad menjawab, “Tidak, pernah sowan”
    Kemudian Kyai Kholil berkata, “Tongkat ini antarkan. Berikan kepada Hasyim Asyari. Ini tongkat kasihkan.”
    Kyai As’ad menjawab, “Ya, Kyai”
    Kyai Kholil bertanya, “Kamu punya uang?”
    Kyai As’ad menjawab, “Tidak punya, Kyai”
    Kyai Kholil Berkata, “Ini” (Kyai As’ad diberikan uang 1 ringgit oleh Kyai Kholil)
    Lalu uang perak tersebut (uang logam) dimasukkan ke kantong Kyai’As’ad namun tidak dipakai bahkan sampai saat Kyai As’ad ceramah yang megisahkan tentang sejarah NU pada waktu itu. Menurut Kyai As’ad uang tersebut memang tidak beranak, tapi berkahnya banyak.
    Hingga keesokan harinya ketika Kyai As’ad akan berangkat, Kyai Kholil memanggil Kyai As’ad, “Kesini kamu! Ada ongkos?”
    Kyai As’ad menjawab, “Ada Kyai”
    Kyai Kholil bertanya, “Tidak makan kamu? Tidak merokok kamu? Kamu kan suka merokok?”
    (Lalu Kyai As’ad dikasih lagi 1 Ringgit, totol kyai As’ad mengantongi uang 2 Ringgit, namun uang tersebut sama sekali tidk digunakan oleh Kyai As’ad)
    Kyai Kholil berkata, “Ini (Tongkat) kasihkan ya...”
    lalu Kyai Kholil membaca surat Thaha ayat 17-21
    Artinya :
    17. “Dan apakah yang ada di tangan kananmu, wahai musa?”
    18. Dia (Musa) berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk (makanan) kambingku, dan bagiku masih ada manfaat lain.”
    19. Dia (Alloh) berfirman, “lemparkanlah ia, wahai Musa”
    20. Lalu (Musa) melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seeokor ular yang merayap dengan cepat.
    21. Dia (Alloh) berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya ke keadaan semula.”

    Lalu berangkatlah Kyai As’ad ke rumah KH. Hasyim Asyari. Karena Kyai As’ad pada saat itu masih muda dan masih gagah,  banyak orang-orang yang tidak mengerti mencela. Gagah kok pakai tongkat dan dilihati terus sama orang-orang. Bahkan disebut gila oleh orang Arab Ampel. Ada juga orang yang mengatakan wali. Dan masih banyak lagi cobaan Kyai As’ad saat perjalan itu. Namun bagi Kyai As’ad dalam hatinya, saya tidak mau tahu, saya hanya disuruh Kyai. Wali atau tidak, gila atau tidak terserah kamu, saya terus berjalan. Jadi perkataan orang tidak bisa diikuti. Rusak semua. Yang menghina juga terlalu parah, yang memuji juga keterlaluan. Jadi ini ujian beliau
    Ujian tersebut dilalui dengan sabar. Hingga sampailah Kyai As’ad di tebuireng atau tepatnya di depan rumah KH. Hasyim Asyari.
    Kyai Hasyim Bertanya, “Siapa ini?”
    Kyai As’ad menjawab, “Saya Kyai”
    Kyai Hasyim Bertanya, “Anak mana?”
    Kyai As’ad menjawab, “Dari Madura, Kyai”
    Kyai Hasyim kembali bertanya, “Siapa namanya?”
    Kyai As’ad menjawab, “As’ad”
    Kyai Hasyim kembali bertanya, “Anaknya siapa?”
    Kyai As’ad menjawab, “Anaknya maimunah dan Syamsul Arifin”
    Kyai Hasyim Bertanya, “Anaknya Maimunah kamu?”
    Kyai As’ad menjawab, “Ya, Kyai”
    Kyai Hasyim Berkata, “Keponakanku kamu nak, ada apa?”
    Kyai As’ad menjawab, “Begini Kyai, saya disuruh Kyai (Kholil) untuk mengantarkan tongkat”
    Kyai Hasyim Bertanya, “Tongkat apa?”
    Kyai As’ad menjawab, “Ini Kyai”
    Kyai Hasyim menjawab, “Sebentar... sebentar... Bagaimana ceritanya” (Inilah kecerdasan Kyai Hasyim Asyari yang tidak langsung mengambil tongkat tersebut, namun menanyakan terlebih dahulu penyebab dikirimkannya tongkat tersebut)
    Lalu Kyai As’ad membacakan Al-Quran surat Thaha ayat 17-21 yang merupakan pesan dari Kyai Kholil kepada Kyai Hasyim
    Kyai Hasyim menjawab, “Alhamdulillah, Nak. Saya ingin mendirikan Jamiyah Ulama, Saya teruskan kalau begini.”
    Menurut Kyai As’ad tongkat tersebut merupakan tongkat Nabi Musa yang diberikan Kyai Kholil kepada Kyai As’ad dan disampaikan kepada Kyai Hasyim.
    Inilah rencana mendirikan Jamiyah Ulama, belum ada Nahdlatul Ulama.
    Setelah itu Kyai As’ad pamitan hendak pulang
    Kyai Hasyim bertanya, “Mau pulang kamu?”
    Kyai As’ad menjawab, “Ya, Kyai”
    Kyai Hasyim bertanya, “Cukup uang sakunya?”
    Kyai As’ad menjawab, “Cukup, Kyai. Saya cukup didoakan saja Kyai”  (Kyai As’ad pun pamit)
    Kyai Hasyim menjawab, “Ya mari... Haturkan bahwa rencana saya untuk mendirikan Jamiyah Ulama akan diteruskan.”
    Lalu pulanglah Kyai As’ad ke pondok pesantren asuhan Kyai Kholil. Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.
    Pada akhir tahun 1924 , Kyai As’ad kembali dipanggil oleh Kyai Kholil
    Kyai Kholil, “As’ad kesini!”
    Lalu Kyai As’ad menghampiri gurunya itu
    Kyai Kholil, “Kamu lupa rumahnya Hasyim?”
    Kyai As’ad, “Tidak Kyai”
    Kyai Kholil, “Hasyim Asyari?”
    Kyai As’ad, “Ya, Kyai”
    Kyai Kholil, “Dimana rumahnya?”
    Kyai As’ad, “Tebuireng”
    Kyai Kholil, “Darimana asalnya?”
    Kyai As’ad, “Dari Keras (Kediri), putra Kyai Asyari”
    Kyai Kholil, “Ya benar, dimana Keras?”
    Kyai As’ad, “Di baratnya Seblak”
    Kyai Kholil, “Ya, kok tahu kamu?”
    Kyai As’ad, “Ya, Kyai”
    Kyai Kholil, “Ini tasbih hantarkan”
    Kemudian Kyai As’ad diberi uang 1 ringgit dan rokok. Uang tersebut dikumpulkan dengan yang dahulu, sehingga total 3 ringgit. Karena pada saat iti Kyai As’ad mau tahu apa berkahnya.
    Lalu, saat itu pagi hari Kyai Kholil keluar langgar.
    Kyai Kholil, “Kesini, makan dulu!”
    Kyai As’ad, “Tidak kyai, sudah minum wedang dan jajan”
    Kyai Kholil, “Darimana kamu dapat?”
    Kyai As’ad, “Saya beli di jalan Kyai”
    Kyai Kholil, “Jangan membeli dijalan! Jangan makan dijalan! Santri kok makan di jalan?”
    Kyai As’ad , “Ya Kyai” (Kyai As’ad makan di jalan dimarahi)
    Kyai Kholil, “Santri kok menjual harga dirinya? Cukup itu?”
    Kyai As’ad, “Cukup Kyai”
    Kyai Kholil, “Tidak” (Lalu Kyai Kholil memberi 1 ringgit lagi ke Kyai As’ad)
    Kemudian Kyai Kholil mengeluatkan Tasbih dan membaca Ya Jabbar (Yang Maha Kuat yang menundukkn segalanya) 1 kali putaran tasbih dan Ya Qohhar (Yang Maha Perkasa) 1 kali putaran tasbih. Lalu Kyai As’ad disuruh dzikir tersebut.
    Kyai Kholil, “Ini” (Kyai As’ad disuruh ambil tasbih)
    Kyai As’ad justru menengadahkan leher
    Kyai Kholil, “Kok leher?”
    Kyai As’ad, “Ya Kyai, tolong diletakkan di leher saya supaya tidak terjatuh”
    Kyai Kholil, “Ya kalau begitu”
    Jadi Kyai As’ad berkalung tasbih walaupun masih muda saat itu. Lalu Kyai As’ad berangkat ke Tebuireng. Sama seperti saat membawakan tongkat kepada Kyai Hasyim, beliau mendapat ujian oleh orang-orang yang sama. Beliau dikatakan gila, diejek bahakan ada yang memuji seorang wali. Namun Kyai As’ad tidak menjawab, beliau berpuasa dan tidak bicara hingga bertemu Kyai Hasyim barulah Kyai As’ad mau berbicara. Beliau tidak makan, tidak merokok dan tidak bicara karena amanatnya Kyai Kholil. Kyai As’ad tidak berani berbuat apa-apa sebagaimana kepada Rosululloh namun ini kepada gurunya. Bahkan uangnya tidak dipakai. Saat naik kendaraan ada penarik tiket, namun Kyai As’ad pura-pura tidur dan sama sekali tidak dimintai tiket. Seolah-olah Kyai As’ad tidak terlihat. Menurut Kyai As’ad, ini karena tasbih dan tongkat tersebut. Jadi selama perjalanan 2 kali beliau tidak membeli tiket kendaraan. Menurut Kyai As’ad, mungkin ini karena keromahnya Kyai Kholil dan Kyai Hasyim. Jadi Auliya’ iyu punya karomah dan ini semakin menambah keyakinan Kyai As’ad dengan karomah. Lalu sampailah Kyai As’ad di tebuireng
    Kyai Hasyim, “Apa itu?”
    Kyai As’ad, “Saya mengantarkan tasbih”
    Kyai Hasyim, “Masya Alloh... Masya Alloh... Mana Tasbihnya?”
    Kyai As’ad, “Ini Kyai” (dengan menjulurkan leher)
    Kyai Hasyim, “Lho?”
    Kyai As’ad, “Ini Kyai, tasbih ini dikalungkan oleh Kyai (Kholil) ke leher saya, sampai sekarang saya tidak memegangnya. Saya takut su’ul adab (tidak sopan) kepada guru, sebab tasbih ini untuk anda (Kyai Hasyim)”
    Kyai Hasyim, “Apa kata Kyai?” (Kemudian tasbih tersebut diambil)
    Kyai As’ad, “Ya Jabbar... Ya Jabbar... Ya Jabbar... Ya Qohhar.... Ya Qohhar... Ya Qohhar...”
    Kyai Hasyim, “Siapa yang berani pada NU akan hancur, Siapa yang berani pada ulama akan hancur”
    Kehadiran Kyai As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah.
    Pada tahun 1925, Kyai Kholil wafat atau tepatnya 29 Ramadhan.

    3.      KOMITE HIJAZ DAN DIDIRIKANNYA NAHDLATUL ULAMA
    Pada saat itu Raja Ibnu Saud (Klan Al Saud dan Laskar Wahabi) menginginkan supaya melebarkan daerah kekuasaannya sampai ke seluruh dunia Islam. Dengan dalil demi kejayaan Islam, ia berencana untuk meneruskan kekhilafahan Islam yang telah terputus di Turki pasca runtuhnya Daulah Usmaniyah. Untuk itu, Raja Ibnu Saud berencana menggelar Muktamar Khilafah yang ada di Kota Suci Makkah sebagai penerus Khilafah yang terputus itu.
    Semua negara Islam di dunia akan diundang untuk menghadiri acara muktamar tersebut, termasuk juga Indonesia.maka puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah. Awalnya, utusan yang di percaya yaitu HOS Cokroaminoto (SI), K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah) serta K.H. Abdul Wahab hasbullah (pesantren). Akan tetapi, rupanya ada sedikit permainan licik di antara kelompok yang mengusung para calon utusan Indonesia. Sebab K.H. Abdul Wahab hasbullah tidak mewakili organisasi resmi, maka nama beliau kemudian dicoret dari daftar calon utusan.
    Peristiwa tersebut akhirnya menyadarkan para ulama' pengasuh pesantren akan pentingnya sebuah organisasi. Sekaligus menyisakan sakit hati yang mendalam, sebab tidak ada lagi yang bisa dititipi sikap keberatan akan semua rencana Raja Ibnu Saud yang bertujuan akan mengubah model beragama di Makkah. Para ulama pesantren tentu tidak terima akan kebijakan raja yang anti kebebasan bermadzhab, anti ziarah makam, anti maulid nabi dan lain sebagainya. Bahkan, sempat terdengar pula berita bahwa makam Nabi Agung Muhammad SAW berencana untuk digusur.
    Menurut para kiai pesantren, pembaruan adalah suatu keharusan. K.H. Hasyim Asy'ari juga tidak mempersoalkan dan bisa menerima gagasan para kaum modernis supaya menghimbau umat Islam kembali pada ajaran yang 'murni'. Namun, K.H. Abdul Wahab hasbullah tidak bisa menerima jika pemikiran mereka meminta umat Islam melepaskan diri dari sistem bermadzhab.
    Di samping itu, sebab ide pembaruan yang dilakukan dengan cara melecehkan, merendahkan serta membodoh-bodohkan, maka para ulama' pesantren kemudian menolaknya. Menurut mereka, pembaruan akan tetap dibutuhkan, namun tidak dengan khazanah keilmuan yang sudah ada dan masih bersangkutan. Karena kondisi itulah maka Jam'iyah Nahdlatul Ulama' harus didirikan.
                Karena sangat dibutuhkannya delegasi untuk acara mukhtamar menindak lanjuti undangan dari Raja Sa’ud. Maka Ulama-ulama Alussunnah Wal Jamaah melakukan mukhtamar di Surabaya sehingga dibentuklah susunan Komite Hijaz untuk menghadap raja Ibnu Sa'ud. Berikut adalah susunan Komite Hijaz:
    Penasehat         : KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Masyhuri Lasem, KH. Kholil Lasem
    Ketua               : KH. Hasan Gipo
    Wakil Ketua     : H. Shaleh Syamil
    Sekretaris         : Muhammad Shadiq
    Pembantu         : KH. Abdul Halim
               
    Selain Komite Hijaz, diperlukan juga suatu wadah organisasi yang menaungi Komite Hijaz dan mewadahi paham Ahlussunnah Wal Jamaah, maka pada tanggal 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H) didirikanlah Nahdlatul Ulama beserta susunan struktur organisasi dan Anggaran Dasar yang disusun oleh Kyai Dahlan dari Nganjuk
    Berikut susunan PBNU Generasi Pertama Tahun 1926:
    Rais Akbar : K.H. Hasyim Asy'ari dari Jombang
    Wakil Rais
     Akbar : K.H. Dahlan Ahyad dari Kebondalem, Surabaya
    Katib Awal
     : K.H. Abdul Wahab Hasbullah dari Jombang
    Katib Tsani
     : K.H. Abdul Claim dari Cirebon
    A'wan
     :             1. K.H. Mas Alwi Abdul Aziz (Surabaya)
                  2. K.H. Ridwan Abdullah (Surabaya) 
                  3. K.H. Said (Surabaya)
                  4. K.H. Bisri Syamsuri (Jombang)
                   5. K.H. Abdullah Ubaid (Surabaya)
       6. K.H. Nahrowi (Malang)
       7. K.H. Amin (Surabaya)
       8. K.H. Maskuri (Lasem)
       9. K.H. Nahrowi (Surabaya)
    Mustasyar :       1. K.H. R. Asnawi (Kudus)
                              2. K.H. Ridwan (Semarang)
                              3. K.H. Mas Nawawi, Sidogiri (Pasuruan)
                              4. K.H. Doro Muntoho (Bangkalan)
                              5. Syeikh Ahmad Ghonaim al-Misri (Mesir)
                              6. K.H. R. Hambali (Kudus)
    Tanfidziyah
    Ketua : H. Hasan Gipo dari Surabaya
    Penulis
     : M. Sidiq Sugeng Judodiwirjo dari Pemalang
    Bendahara
     : H. Burhan dari Gresikelah terbentuk
    Pembantu
     :      1. H. Soleh Jamil (Surabaya)
    2. H. Ichsan (Surabaya)
    3. H. Dja'far Alwan (Surabaya)
    4. H. Usman (Surabaya)
    5. H. Ahzab (Surabaya)
    6. H. Nawawi (Surabaya)
    7. H. Dahlan (Surabaya)
    8. H. Mangun (Surabaya)

    Setelah terbentuk NAHDLATUL ULAMA dan Komite Hijaz. Maka berangkatlah delegasi tersebut dalam mukhtamar yang diselenggarakan oleh Raja Sa’ud. Materi pokok yang hendak disampaikan langsung ke hadapan Raja Ibnu Sa'ud adalah:
    1.      Meminta kepada raja Ibnu Sa'ud untuk memberlakukan kebebasan bermadzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali.
    2.      Meminta tetap diramaikannya tempat bersejarah karena tempat tersebut telah diwakafkan untuk masjid.
    3.      Mohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia setiap tahun sebelum jatuhnya musim haji, baik ongkos haji, perjalanan keliling Makkah maupun tentang Syekh.
    4.      Mohon hendaknya semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis sebagai undang-undang supaya tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum ditulisnya undang-undang tersebut.
    5.      Jam'iyyah NU mohon jawaban tertulis yang menjelaskan bahwa utusan sudah menghadap raja Ibnu Sa'ud dan sudah pula menyampaikan usul-usul NU tersebut.
    Disinilah peran NAHDLATUL ULAMA dalam menyelamatkan paham Ahlussunnah Wal Jamaah di Indonesia bahkan Di Dunia

    Baca juga Biografi KH. Hasyim Asyari

    Sumber :
    1.      Al-Milal wa al-Nihal, Syaikh Abdul Karim asy-Syahrastani
    2.      Fath al-Bari fi Syarh Shohih al-Bukhari, Al-Imam Ibnu Hajar al-Asqolani
    3.      KH. Zainul Arifin, panglima Hizbullah, Seorang Pahlawan, NU Online
    4.      Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Drs. Choirul Anam. Bisma Satu Surabaya
    5.      Resolusi Jihad dalam Peristiwa 10 November, M. Mas’ud Adnan, Jawa Pos
    6.      Telaah Kritis Atas Doktrin Faham Salafi / Wahabi, A. Sihabuddin
    7.      Ad-Durar as-Saniyah
    8.      Harapandansemangat.blogspot.co.id
    9.      NU Online
    10.  LEMBAGA BAHTSUL MASAIL PCNU Kota Surabaya
    • Google Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: SEJARAH NAHDLATUL ULAMA Rating: 5 Reviewed By: Situs Resmi KMNU Undip
    Scroll to Top