SEJARAH NAHDLATUL ULAMA
Lahirnya NAHDLATUL ULAMA dimulai dengan adanya
kelompuk yang melakukan pembaruan agama
islam yang anti maulid, anti ziarah, anti tawasul, dll. Bertentangan dengan
Ahlussunnah Wal Jamaah An Nahdliyah. Hal itu disebabkan karena jatuhnya kota
Hijaz ke penguasa lain. Maka dari sinilah awal NAHDLATUL ULAMA harus didirikan. Berikut
adalah alur sebelum didirikannya NAHDLATUL ULAMA
1. PEMBARUAN ISLAM & TAKLUKNYA WILAYAH HIJAZ
661-728 H /
1263-1328 M atau abad ke 7 – 8 H / 13 – 14 M yakni 700 tahun setelah Nabi Muhammad
SAW wafat atau 500 tahun dari masa Imam asy-Syafi'i. Ajaran-ajaran Para
Pembaharu Agama Islam (Mujaddid) yang dimulai dari Ibnu Taimiyyah.
Beliau mengaku penganut madzhab Hanbali, namun anehnya beliau justru menjadi
orang pertama yang menentang sistem madzhab. Pemikirannya dilanjutkan oleh
muridnya Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah. Aliran ini kemudian dikenal dengan
nama aliran salafi-salafiyah yang mengaku memurnikan ajaran
kembali ke al-Qur'an dan Hadits, tetapi di sisi lain mereka justru mengingkari
banyak hadits Shahih. Mereka ingin memberantas bid'ah tetapi pemahaman tentang
bid'ahnya melenceng dari makna bid'ah yang dikehendaki Rasulullah SAW dan yang
dipahami oleh para sahabat dan para ulama salaf Ahlussunnah wal Jama'ah.
Selain itu, mereka juga membangkitkan kembali penafsiran Al-Qur'an & Sunnah secara Lafdziy (Al-Qur’an dan Sunnah hanya bisa diartikan secara tekstual (apa adanya teks) dan tidak ada arti majazi atau kiasan di dalamnya). Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi. Jika kita tidak dapat membedakan di antara keduanya maka kita akan menjumpai beberapa kontradiksi yang timbul di dalam Al-Qur’an. Maka dari itu sangatlah penting untuk memahami masalah tersebut. Penafsiran Al-Qur'an & Sunnah secara lafdziy akibatnya mereka memberi sifat secara fisik kepada Allah SWT (diibaratkan Alloh SWT mempunyai tangan, kaki, mata dan lain-lain seperti makhlukNya). Mereka juga mengatakan terdapat kursi yang sangat besar (‘Arsy) dimana Allah SWT duduk sehingga Alloh membutuhkan ruangan atau tempat untuk duduk) di atasnya. Terdapat banyak masalah lainnya yang diartikan secara tekstual. Hal ini telah membuat banyak fitnah di antara ummat Islam, dan inilah yang paling pokok dari mereka yang membuat berbeda dari madzhab yang lain.
Selain itu, mereka juga membangkitkan kembali penafsiran Al-Qur'an & Sunnah secara Lafdziy (Al-Qur’an dan Sunnah hanya bisa diartikan secara tekstual (apa adanya teks) dan tidak ada arti majazi atau kiasan di dalamnya). Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi. Jika kita tidak dapat membedakan di antara keduanya maka kita akan menjumpai beberapa kontradiksi yang timbul di dalam Al-Qur’an. Maka dari itu sangatlah penting untuk memahami masalah tersebut. Penafsiran Al-Qur'an & Sunnah secara lafdziy akibatnya mereka memberi sifat secara fisik kepada Allah SWT (diibaratkan Alloh SWT mempunyai tangan, kaki, mata dan lain-lain seperti makhlukNya). Mereka juga mengatakan terdapat kursi yang sangat besar (‘Arsy) dimana Allah SWT duduk sehingga Alloh membutuhkan ruangan atau tempat untuk duduk) di atasnya. Terdapat banyak masalah lainnya yang diartikan secara tekstual. Hal ini telah membuat banyak fitnah di antara ummat Islam, dan inilah yang paling pokok dari mereka yang membuat berbeda dari madzhab yang lain.
Lalu Muncul Muhammad bin Abdul
Wahab di abad ke 12 H / 18 M, seorang pembaharu agama yang lahir di Ayibah
lembah Najed (1115-1201 H/1703-1787 M) yang mengaku sebagai penerus ajaran Salafi
Ibnu Taimiyyah dan kemudian mendirikan madzhab Wahabi atau Wahabiyyah. Ia
mengaku sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah karena meneruskan pemikiran Imam Ahmad
bin Hanbal yang diterjemahkan oleh Ibnu Taimiyyah, tapi sebagaimana
pendahulunya, Muhammad bin Abdul Wahab dan pengikutnya mudah mengkafirkan para
ulama yang tidak sejalan dengannya, bahkan sesama madzhab Hanbali pun ia
mengkafirkanya Berikut adalah beberapa pengkafiran Muhammad bin Abdul Wahab:
·
Dalam sebuah surat yang
dilayangkan kepada Syeikh Sulaiman bin Sahim –seorang tokoh madzhab
Hanbali pada zamannya– Ia (Muhamad Abdul Wahhab) menuliskan: “Aku mengingatkan
kepadamu bahwa engkau bersama ayahmu telah dengan jelas melakukan perbuatan
kekafiran, syirik dan kemunafikan! Engkau bersama ayahmu siang dan malam sekuat
tenagamu telah berbuat permusuhan terhadap agama ini! Engkau adalah seorang
penentang yang sesat di atas keilmuan. Dengan sengaja melakukan kekafiran
terhadap Islam. Kitab kalian itu menjadi bukti kekafiran kalian!” (Refrensi
: ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 31)
·
Dalam sebuah surat yang
dilayangkan untuk Ibnu Isa –yang telah melakukan argumentasi terhadap
pemikirannya –Muhammad Abdul Wahhab menvonis sesat para pakar fikih (fuqoha)
secara keseluruhan. Ia (Muhamad Abdul Wahhab) menyatakan: (Firman Allah);
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan
selain Allah”. Rasul dan para imam setelahnya telah mengartikannya sebagai
‘Fikih’ dan itu yang telah dinyatakan oleh Allah sebagai perbuatan syirik.
Mempelajari hal tadi masuk kategori menuhankan hal-hal lain selain Allah. Aku
tidak melihat terdapat perbedaan pendapat para ahli tafsir dalam masalah ini.” (Refrensi
: ad-Durar as-Saniyah jilid 2 hal. 59).
·
Berkaitan dengan Imam
Fakhrur Razi –pengarang kitab Tafsir al-Kabir, yang bermadzhab Syafi’i
Asy’ary– ia (Muhamad Abdul Wahhab) mengatakan: “Sesungguhnya Razi tersebut
telah mengarang sebuah kitab yang membenarkan para penyembah bintang.” (Refrensi
: dalam ad-Durar as-Saniyah jilid 10
hal. 355).
Betapa kedangkalan ilmu Muhamad bin Abdul Wahhab
terhadap karya Imam Fakhrur Razi. Padahal dalam karya tersebut, Imam Fakhrur
Razi menjelaskan tentang
beberapa hal yang menjelaskan fungsi gugusan bintang dalam kaitannya dengan
fenomena yang berada di bumi, termasuk berkaitan dengan bidang pertanian. Namun
Muhammad bin Abdul Wahhab dengan keterbatasan ilmu terhadap ilmu perbintangan
telah menvonisnya dengan julukan yang tidak layak, tanpa didasari ilmu yang
cukup.
Dari berbagai
pernyataan di atas maka jangan kita heran jika Muhammad bin Abdul Wahhab serta
diikuti oleh para pengikutnya (Wahhabi) pun mengkafirkan para pakar teologi
(mutakallimin) Ahlusunnah secara keseluruhan (Refrensi : ad-Durar as-Saniyah
jilid 1 hal. 53), bahkan Muhamad Abdul Wahhab mengaku-ngaku bahwa kesesatan
para pakar teologi tadi merupakan ijma’ para ulama dengan mencatut nama para
ulama seperti adz-Dzahabi, Imam Daruquthni dan al-Baihaqi.
Tokoh Pembaharu Agama lain penerus
faham salafi Ibnu Taimiyyah adalah muncul pada abad ke 19 di Afghanistan
yang bernama Jamaluddin al-Afghani (1838-1898). Ajarannya diteruskan
oleh muridnya dari Mesir di abad ke 19 – 20 M yang bernama Muhammad Abduh
(1949-1905). Pada saat inilah KH Muhammad Hasyim Asyari sedang menimba
ilmu di Mekkah. Kemampuannya dalam ilmu hadits KH Muhammad
Hasyim Asyari diwarisi dari gurunya, Syaikh
Mahfudz At-Tarmasi di Mekkah. Selama 7 tahun KH Muhammad
Hasyim Asyari berguru kepada Syaikh ternama asal
Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, KH Muhammad
Hasyim Asyari juga menimba ilmu kepada Syaikh
Ahmad Khatib Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad
Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH. Hasyim Asyari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru. Yang perlu ditekankan, saat
KH Hasyim Asyari belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang
giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana
diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat
Islam selanjutnya. Ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang
dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang
sedang belajar di Mekkah. Termasuk tentu saja KH Hasyim Asyari. Ide reformasi
Abduh itu ialah
1.
Mengajak ummat
Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang
sebenarnya bukan berasal dari Islam.
2.
Reformasi
pendidikan Islam di tingkat universitas
3.
Mengkaji dan
merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan
modern.
4.
Mempertahankan
Islam.
Usaha
Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan
modern dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab
yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan
inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan
mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala
bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran
Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib
ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di
antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah.
Tidak demikian dengan KH Hasyim Asyari. Beliau sebenarnya juga menerima
ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi beliau menolak pikiran
Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Beliau
berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya
dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat
para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan Al
Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab
hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang
sebenarnya
Pemikiran Muhammad Abduh menyebar ke
berbagai penjuru dunia lewat tulisannya yang dimuat dalam majalah al-Manar.
Setelah beliau wafat pada tahun 1905, majalah al-Manar diteruskan oleh muridnya
yang bernama Muhammad Rasyid Ridla (1865-1935). Kumpulan tulisan Muhammad Abduh
dan M. Rasyid Ridla ini kemudian dibukukan menjadi Tafsir al-Manar.
Dalam
perkembangannya aliran Salafi-Wahabi pun terpecah dalam banyak faksi
(kelompok) dengan karakteristiknya masing-masing, tergantung pada imam mana
yang diikutinya. Tokoh ulama Wahabi yang menjadi rujukan dan panutan saat ini
adalah Muhammad Nashiruddin al-Albani seorang dosen Ilmu Hadits di Universitas Islam Madinah yang lahir
pada tahun 1915 dan wafat 1 Oktober 1989. Ia dipuja-puja kaum Wahabi-Salafi
bahkan dianggap lebih alim dari Imam Bukhori, karena ia
men-Takhrij/mengomentari beberapa haditsnya Imam Bukhori (194 – 256 H).
Ajaran Salafi-Wahabi ini masuk ke
Indonesia mulanya:
1.
Dibawa oleh seorang tokoh pembaharu agama (mujaddid)
asal Yogyakarta yang bernama Darwis yang aktif dan rutin mengikuti pemikiran
Muhammad Abduh-M. Rasyid Ridla lewat majalah al-Manar dan ajaran Wahabi. Ia
kemudian dikenal dengan nama KH. Ahmad Dahlan yang pada 18 Nopember 1912
mendirikan organisasi keagamaan Muhammadiyyah. Walaupun kenyataannya dalam
amaliyah sehari-hari selama hidupnya KH. Ahmad Dahlan lebih dekat kepada
madzhab Syafi’i. Namun sepeninggal beliau terjadi modernisasi total dari para
penerusnya.
2.
Syaikh Akhmad Soorkati (1872-1943) seorang tokoh
pembaharu (mujaddid) asal Sudan yang kalah bersaing dalam Jami'at al-Khair di
negaranya, kemudian Hijrah ke Indonesia dan tahun 1914 di Betawi mendirikan
organisasi al-Irsyad.
3.
Di Bandung pun muncul Mujaddid yang bernama A. Hasan
yang juga dikenal sebagai Hasan Bandung atau Hasan Bangil yang tahun 1927
meneruskan organisasi PERSIS (Persatuan Islam) yang didirikan pada 1923 oleh
KH. Zam Zam Palembang.
4.
HOS. Cokroaminoto dengan PSII (Persatuan Syarikat
Islam Indonesia).
Apa yang Menyebabkan Aliran
"Islam Baru” dapat menyebar dengan Cepat?
Muhammad bin Abdul Wahab pernah menguji coba ajaranya kepada penduduk Bashrah, tetapi karena mereka adalah penganut fanatik ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, maka usahanya bagaikan menabrak batu karang. Kemudian Muhammad bin Abdul Wahhab menetap di Dir’iyah dan Pangeran Muhammad ibn Saud (dari Dir’iyah Najed) setuju untuk saling dukung-mendukung dengan Wahabi. (Baca : Dir’iyah adalah rumah asli dari keluarga kerajaan Arab Saudi)
Muhammad bin Abdul Wahab pernah menguji coba ajaranya kepada penduduk Bashrah, tetapi karena mereka adalah penganut fanatik ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, maka usahanya bagaikan menabrak batu karang. Kemudian Muhammad bin Abdul Wahhab menetap di Dir’iyah dan Pangeran Muhammad ibn Saud (dari Dir’iyah Najed) setuju untuk saling dukung-mendukung dengan Wahabi. (Baca : Dir’iyah adalah rumah asli dari keluarga kerajaan Arab Saudi)
Keluarga Saud dan pasukan Wahabi
berkembang menjadi dominan di semenanjung Arabia, pertama menundukkan wilayah
Najed, lalu memperluas kekuasaan mereka ke pantai timur dari Kuwait sampai
Oman. Orang Saudi juga mengambil alih tanah tinggi 'Asir di bawah kedaulatan
mereka dan pasukan Wahabi mereka mengadakan serangan di Irak dan Suriah, dan
menguasai kota suci Shi'ah, Karbala tahun 1801.
Hingga pada tahun 1802, pasukan Saudi-lasykar Wahabi merebut kota Hijaz (Jeddah, Makkah, Madinah dan sekitarnya) di bawah kekuasaan mereka. Hal ini menyebabkan kemarahan Daulah Utsmaniyah Turki, yang telah menguasai kota suci sejak tahun 1517, dan membuat Daulah Utsmaniyah bergerak. Tugas untuk menghancurkan Wahabi diberikan oleh Daulah Utsmaniyah Turki kepada raja muda kuat Mesir, Muhammad Ali Pasha.Beliau lalu mengirim pasukannya ke Hijaz melalui laut dan merebutnya kembali. Anaknya, Ibrahim Pasha, lalu memimpin pasukan Utsmaniyah ke jantung Najed, merebut kota ke kota. Akhirnya, Ibrahim mencapai ibukota Saudi, Dir’iyah dan menyerangnya untuk beberapa bulan sampai kota itu menyerah pada musim dingin tahun 1818.
Ibrahim lalu membawa banyak anggota klan (Keluarga) Al Saud dan Ibn Abdul Wahab ke Mesir dan Ibukota Utsmaniyah, Istanbul Turki, dan memerintahkan penghancuran Diriyah, yang reruntuhannya kini tidak pernah disentuh kembali. Pemimpin Saudi terakhir, Abdullah bin Saud dieksekusi di Ibukota Utsmaniyah, dan kepalanya dilempar ke air Bosphorus. Sejarah kerajaan Saudi Pertama berakhir. Namun, Wahabi dan klan Al Saud hidup terus dan mendirikan kerajaan Saudi Kedua yang bertahan sampai tahun 1891.
Hingga pada tahun 1802, pasukan Saudi-lasykar Wahabi merebut kota Hijaz (Jeddah, Makkah, Madinah dan sekitarnya) di bawah kekuasaan mereka. Hal ini menyebabkan kemarahan Daulah Utsmaniyah Turki, yang telah menguasai kota suci sejak tahun 1517, dan membuat Daulah Utsmaniyah bergerak. Tugas untuk menghancurkan Wahabi diberikan oleh Daulah Utsmaniyah Turki kepada raja muda kuat Mesir, Muhammad Ali Pasha.Beliau lalu mengirim pasukannya ke Hijaz melalui laut dan merebutnya kembali. Anaknya, Ibrahim Pasha, lalu memimpin pasukan Utsmaniyah ke jantung Najed, merebut kota ke kota. Akhirnya, Ibrahim mencapai ibukota Saudi, Dir’iyah dan menyerangnya untuk beberapa bulan sampai kota itu menyerah pada musim dingin tahun 1818.
Ibrahim lalu membawa banyak anggota klan (Keluarga) Al Saud dan Ibn Abdul Wahab ke Mesir dan Ibukota Utsmaniyah, Istanbul Turki, dan memerintahkan penghancuran Diriyah, yang reruntuhannya kini tidak pernah disentuh kembali. Pemimpin Saudi terakhir, Abdullah bin Saud dieksekusi di Ibukota Utsmaniyah, dan kepalanya dilempar ke air Bosphorus. Sejarah kerajaan Saudi Pertama berakhir. Namun, Wahabi dan klan Al Saud hidup terus dan mendirikan kerajaan Saudi Kedua yang bertahan sampai tahun 1891.
Mereka
mencampurkan anatar agama, ambisi kekuasaan, dan kepentingan asing jadi satu.
Hal ini dimulai dari wilayah Najed. Ketika pasukanWahabi dan klan Al Saud yang
dipimpin Abdul Aziz Ibnu Sa'ud menyusun kekuatan kembali disertai
dukungan persenjataan mesin dari sekutu lamanya, Inggris dan Amerika. Maka awal
tahun 1900-an mereka menyerang kembali kota Hijaz yang saat itu dipimpin Raja
Syarif Husain. Ketika itu Hijaz hanya dibantu oleh Daulah Utsmaniyyah Turki
yang sudah mulai lemah, dan akhirnya pada tahun 1924 ketika kekuasaanya sudah
mengecil Raja Syarif Husain mengasingkan diri ke kepulauan Cyprus dan
kekuasaanya diserahkan pada putranya yang bernama Raja Syarif Ali. Raja
Syarif Ali membuat kota-kota pertahanan baru, tapi pasukan Wahabi dan klan Al
Sa'ud dengan persenjataan canggih berhasil mengepung semua kota, hingga yang
tersisa hanya pertahanan di pelabuhan Jeddah. Pada ahir 1925 mereka berhasil
menguasai pelabuhan Jeddah, maka Raja Syarif Ali menyerah pada
pemberontak.
Dari tahun
1925 inilah Hijaz dengan dua kota suci Makkah dan Madinah dikuasai oleh
keluarga Sa'ud dan Wahhabi. Dan ahirnya tepat tanggal 23 September 1932, Hijaz
berubah nama menjadi al-Mamlakah al-'Arabiyyah as-Sa'udiyyah, Kerajaan
Arab Sau'di, yang dinisbatkan kepada nama leluhurnya yakni Al Sa'ud, dengan
Ibukotanya Riyadh.
Jatuhnya
Hijaz ke tangan pemberontak pada 1925 tidak hanya berakibat perubahan
pemeritahan, tapi juga merombak total praktek-praktek keagamaan di Hijaz dari
yang semula Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi faham Wahabi. Seperti
larangan bermadzhab, larangan ziarah ke makam-makam pahlwan Islam, larangan
merokok, larangan berhaji dengan cara madzhab. Bahkan makam Rasulullah SAW,
sahabat-sahabat dan tempat bersejarah pun berencana akan digusur karena
dianggap sebagai tempatnya kemusyrikan.
Ketika aliran
Salafi-Wahhabi berkembang di Dir’iyyah maupun Najed itu belumlah membuat risau
umat Islam dunia. Tetapi ketika mereka menguasai pusat Islam yakni dua kota
suci di Hijaz, maka hal ini menimbulkan dampak yang luar biasa, termasuk dalam
persebarannya ke seluruh dunia. Melihat perubahan ajaran yang terjadi di Hijaz,
maka hampir semua umat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di seluruh dunia
memprotes rencana pemerintahan baru di Hijaz yang ingin memberlakukan
asas tunggal, yakni madzhab Wahabi.
Tahun 1943
muncullah ARAMCO (Arabian-American Company) yang mengeksplorasi
minyak Arab Saudi. Dari sejarah itulah, mengapa sampai saat ini Arab Saudi
selalu tidak bisa bersuara selain seperti suara Amerika, sekalipun harus
berbeda dengan negara-negara Islam lainnya.
2. KONDISI DI NUSANTARA
Penjajahan panjang yang mengungkung
bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan
martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908
muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat
Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai
organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan
(Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga
dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian
didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan
basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka
Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang
berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama
dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda
pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh.
Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan
zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan
politik. Dimana pada saat inilah Klan Al Saud dan paham wahabi sedang maraknya
tersebar di seluruh dunia Islan tak terkecuali di Indonesia.
Kisah dibawah ini diambil dari ceramah
Alm. KH. As’ad Syamsul Arifin tentang sejarah NAHDLATUL ULAMA
Umat islam di Indonesia kurang lebih 7 abad
yang lalu. Para auliya, pelopor-pelopor Rosululloh SAW yang masuk ke Indonesia
membawa syariat Islam menurut aliran salah satu dari empat madzhab yang dibawa
adalah islam menurut orang sekarang Islam Ahlussunnah Wal Jamaah,
Khususnya Madzhab Syafi’i yang terbesar di Indonesia. Mazhab lain juga ada yang
termasuk Ahlussunnah Wal Jamaah yaitu madzhab Hanafi, madzhab Maliki,
dan madzhab Hanbali. Inilah yang disebut 4 Madzhab dalam NAHDLATUL ULAMA.
Termasuk yang dibawakan oleh para Walisongo.
Kira-kira tahun 1920, waktu KH As’ad
ada di Bangkalan (Madura), tepatnya di pondoknya Kyai Kholil. Pada tahun yang
sama juga, Kyai Muntaha Jengkebuan menantu Kyai Kholil Bangkalan mengundang
tamu para ulama dari seluruh Indonesia, secara bersamaan tidak berjanji datang
semua, sejumlah 66 ulama dari seluruh Indonesia yang hadir. Masing-masing ulama
melaporkan. Salah satu ulama melaporkan “Bagaimana Kyai Muntaha, tolong
sampaikan kepada Kyai Kholil, saya tidak berani menyampaikannya. Ini semua
ssudah berniat untuk sowan kepada Hadratus Syaikh (Kyai Kholil Bangkalan), ini
tidak ada yang berani kalau bukan anda yang menyampaikannya”. Lalu kyai Muntaha
menjawab “Apa perlunya?”, lalu dijawab kembail oleh Kyai yang baru saja
melaporkan, “Begini, sekarang ini mulai ada kelompok-kelompokyang sangat tidak
senang dengan ulama salaf, tidak senag dengan kitab-kitab ulama salaf, yang
diikuti hanya Al-Quran dan Hadist saja, yang lain tidak perlu diikuti.
Bagaimana pendapat pelopor-pelopor Walisongo karena ini yang sudah berjalan di
Indonesia. Sebab rupanya kelompok ini melalui kekuasaan pemerinah jajahan
Hindia Belanda tolong sampaikan kepada Kyai Kholil.”
Sebelum para tamu tersebut sampai ke
kediaman Kyai Kholil dan masih di Jengkuba. Kyai Kholil menyuruh Kyai Nasib,
“Nasib, Kesini! Bilang kepada Muntaha, di Al-Quran sudah ada keterangan, sudah
cukup” lalu Kyai kholil mengutip Al-Qur’an Surat At-
Taubat ayat 32
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Alloh dengan mulut
(ucapan-ucapan) mereka, dan Alloh tidak menghendaki selain menyempurnakan
cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukainya.”
Jadi kalau sudah
dikehendaki oleh Alloh Ta’ala maka kehendaknya yang akan terjadi, tidak akan gagal.
Jadi para tamu belum
sowan sudah dijawab oleh Kyai Kholil. Inilah karomah seorang waliyulloh.
Tahun 1921-1922 ada musyawarah di
Kawatan (Surabaya) di rumah Kyai Mas Alwi. Ulama berkumpul sebanyak 46,
bukan 66. Namun hanya seluruh jawa. Diantara ulama yang ikut musyawarah antara
lain ayahanda dari Kyai As’ad Syamsul Arifin yaitu KH Syamsul Arifin.
Ada juga Kyai Sidogiri, Kyai Hasan (Genggong), serta dari barat Kyai
Asnawi (Kudus), Ulama-ulama jombang, Kyai Thohir. Namun musyawarah
tersebut tidak mencapai suatu kesimpulan.
Hingga tahun 1923. Salah satu Kyai
(KH Hasyim Asyari) mendirikan Jamiyah (Organisasi). Belum ada NU,
sementara yang lain sudah merjalela. Tabbaruk-tabbaruk sudah tidak boleh,
ziarah kubur tidak diperbolehkan, tahlilan dilarang. Sudah ditolak oleh
kelompok-kelompok tadi (Baca : Wahabi). Kemudian ada satu ulama yang
matur sama Kyai Kholil, “Kyai, saya menemukan satu sejarah tulisan Sunan
Ampel. Beliau menulis seperti ini. Waktu saya (Sunan Ampel Raden
Rahmatulloh) mengaji ke paman saya di madinah, saya pernah bermimpi bertemu Rosululloh
SAW. Seraya berkata kepada saya (Raden Rahmat), “Islam Ahlussunnah
Wal Jamaah ini bawa ke Indonesia, karena ditempat kelahirannya (Arab) ini sudah tidak mampu melaksanakan Syariat
Islam Ahlussunnah Wal Jamaah, bawa ke indonesia”. Jadi di arab sudah
tidak mampu melaksanakan syariat islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Pada zaman
Maulana Ahmad belum ada istilah Wahabi, belum ada istilah apa-apa.
Ulama-ulama Indonesia ditugaskan
melakukan wasiat tersebut. Jadi ulama-ulama melakukan istikharah, ada pula yang
ziarah makam walisongo kurang lebih selama 40 hari. Akhirnya ada 4 ulama yang
ditugaskan ke Madinah.
Akhirnya, tahun 1923 semua
berkumpul, sama-sama melaporkan hasilnya, hasil laporan tersebut tidak
diketahui siapa yang memegang, apakah Kyai Wahab atau Kyai Bisri.
Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul
Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang
ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai
persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon
petunjuk dari Allah. Dinanti-nanti sekian
lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati
kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan. Sementara dari jauh di Bangkalan sana, Kyai
Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim
Akhirnya Kyai Kholil memanggil Kyai As’ad yang pertama. Mulannya Kyai
As’ad yang masih menjadi santri sedang mengaji di pagi hari dimarahi oleh Kyai
Kholil lantaran tidak bisa mengucapkan huruh Ra’. Kyai As’ad mulanya pelat
(cadel).
Kyai Kholil marah :”Bagaimana kamu membaca Al-Quran kok seperti ini?
Diseengaja atau tidak?” lalu Kyai As’ad menjawab, Tidak saya sengaja Kyai, saya
ini pelat”. Kyai Kholil lalu keluar (Dikisahkan Kyai Kholil melakukan susuatu).
Kemudian keesokan harinya pelat (cadel) Kyai As’ad hilang. Inilah salah satu
kekeramatan Kyai Kholil yang diberikan kepada Kyai As’ad.
Panggilan kedua Kyai Kholil kepada Kyai As’ad. Beliau Kyai Kholil
bertanya, “Mana yang cadel itu? Sudah sembuh cadelnya?”.
Kyai As’ad menjawab,
“Sudah Kyai”.
Lalu Kyai Kholil
memanggil, “Kesini, besok kamu pergi ke Hasyim Asyari Jombang. Tahu rumahnya
kan?”
Kyai As’ad menjawab,
“Tahu Kyai”
Kyai Kholil kembali
bertanya, “Kok tahu? Pernah mondok disana?”
Kyai As’ad menjawab,
“Tidak, pernah sowan”
Kemudian Kyai Kholil
berkata, “Tongkat ini antarkan. Berikan kepada Hasyim Asyari. Ini tongkat
kasihkan.”
Kyai As’ad menjawab,
“Ya, Kyai”
Kyai Kholil
bertanya, “Kamu punya uang?”
Kyai As’ad menjawab,
“Tidak punya, Kyai”
Kyai Kholil Berkata,
“Ini” (Kyai As’ad diberikan uang 1 ringgit oleh Kyai Kholil)
Lalu uang perak
tersebut (uang logam) dimasukkan ke kantong Kyai’As’ad namun tidak dipakai
bahkan sampai saat Kyai As’ad ceramah yang megisahkan tentang sejarah NU pada
waktu itu. Menurut Kyai As’ad uang tersebut memang tidak beranak, tapi
berkahnya banyak.
Hingga keesokan
harinya ketika Kyai As’ad akan berangkat, Kyai Kholil memanggil Kyai As’ad,
“Kesini kamu! Ada ongkos?”
Kyai As’ad menjawab,
“Ada Kyai”
Kyai Kholil
bertanya, “Tidak makan kamu? Tidak merokok kamu? Kamu kan suka merokok?”
(Lalu Kyai As’ad
dikasih lagi 1 Ringgit, totol kyai As’ad mengantongi uang 2 Ringgit, namun uang
tersebut sama sekali tidk digunakan oleh Kyai As’ad)
Kyai Kholil berkata,
“Ini (Tongkat) kasihkan ya...”
lalu Kyai Kholil
membaca surat Thaha ayat 17-21
Artinya :
17. “Dan apakah yang
ada di tangan kananmu, wahai musa?”
18. Dia (Musa)
berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku bertumpu padanya,
dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk (makanan) kambingku, dan bagiku
masih ada manfaat lain.”
19. Dia (Alloh)
berfirman, “lemparkanlah ia, wahai Musa”
20. Lalu (Musa)
melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seeokor ular yang merayap
dengan cepat.
21. Dia (Alloh)
berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya ke keadaan
semula.”
Lalu berangkatlah Kyai As’ad ke rumah KH. Hasyim Asyari. Karena Kyai As’ad
pada saat itu masih muda dan masih gagah,
banyak orang-orang yang tidak mengerti mencela. Gagah kok pakai tongkat
dan dilihati terus sama orang-orang. Bahkan disebut gila oleh orang Arab Ampel.
Ada juga orang yang mengatakan wali. Dan masih banyak lagi cobaan Kyai As’ad
saat perjalan itu. Namun bagi Kyai As’ad dalam hatinya, saya tidak mau tahu,
saya hanya disuruh Kyai. Wali atau tidak, gila atau tidak terserah kamu, saya
terus berjalan. Jadi perkataan orang tidak bisa diikuti. Rusak semua. Yang
menghina juga terlalu parah, yang memuji juga keterlaluan. Jadi ini ujian
beliau
Ujian tersebut dilalui dengan sabar. Hingga sampailah Kyai As’ad di
tebuireng atau tepatnya di depan rumah KH. Hasyim Asyari.
Kyai Hasyim
Bertanya, “Siapa ini?”
Kyai As’ad menjawab,
“Saya Kyai”
Kyai Hasyim
Bertanya, “Anak mana?”
Kyai As’ad menjawab,
“Dari Madura, Kyai”
Kyai Hasyim kembali
bertanya, “Siapa namanya?”
Kyai As’ad menjawab,
“As’ad”
Kyai Hasyim kembali
bertanya, “Anaknya siapa?”
Kyai As’ad menjawab,
“Anaknya maimunah dan Syamsul Arifin”
Kyai Hasyim
Bertanya, “Anaknya Maimunah kamu?”
Kyai As’ad menjawab,
“Ya, Kyai”
Kyai Hasyim Berkata,
“Keponakanku kamu nak, ada apa?”
Kyai As’ad menjawab,
“Begini Kyai, saya disuruh Kyai (Kholil) untuk mengantarkan tongkat”
Kyai Hasyim
Bertanya, “Tongkat apa?”
Kyai As’ad menjawab,
“Ini Kyai”
Kyai Hasyim
menjawab, “Sebentar... sebentar... Bagaimana ceritanya” (Inilah kecerdasan
Kyai Hasyim Asyari yang tidak langsung mengambil tongkat tersebut, namun
menanyakan terlebih dahulu penyebab dikirimkannya tongkat tersebut)
Lalu Kyai As’ad
membacakan Al-Quran surat Thaha ayat 17-21 yang merupakan pesan dari Kyai
Kholil kepada Kyai Hasyim
Kyai Hasyim
menjawab, “Alhamdulillah, Nak. Saya ingin mendirikan Jamiyah Ulama, Saya
teruskan kalau begini.”
Menurut Kyai As’ad
tongkat tersebut merupakan tongkat Nabi Musa yang diberikan Kyai Kholil kepada
Kyai As’ad dan disampaikan kepada Kyai Hasyim.
Inilah rencana
mendirikan Jamiyah Ulama, belum ada Nahdlatul Ulama.
Setelah itu Kyai
As’ad pamitan hendak pulang
Kyai Hasyim
bertanya, “Mau pulang kamu?”
Kyai As’ad menjawab,
“Ya, Kyai”
Kyai Hasyim
bertanya, “Cukup uang sakunya?”
Kyai As’ad menjawab,
“Cukup, Kyai. Saya cukup didoakan saja Kyai”
(Kyai As’ad pun pamit)
Kyai Hasyim
menjawab, “Ya mari... Haturkan bahwa rencana saya untuk mendirikan Jamiyah
Ulama akan diteruskan.”
Lalu pulanglah Kyai
As’ad ke pondok pesantren asuhan Kyai Kholil. Waktu terus
berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya
Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.
Pada akhir tahun
1924 , Kyai As’ad kembali dipanggil oleh Kyai Kholil
Kyai Kholil, “As’ad
kesini!”
Lalu Kyai As’ad
menghampiri gurunya itu
Kyai Kholil, “Kamu
lupa rumahnya Hasyim?”
Kyai As’ad, “Tidak
Kyai”
Kyai Kholil, “Hasyim
Asyari?”
Kyai As’ad, “Ya,
Kyai”
Kyai Kholil, “Dimana
rumahnya?”
Kyai As’ad,
“Tebuireng”
Kyai Kholil,
“Darimana asalnya?”
Kyai As’ad, “Dari
Keras (Kediri), putra Kyai Asyari”
Kyai Kholil, “Ya
benar, dimana Keras?”
Kyai As’ad, “Di
baratnya Seblak”
Kyai Kholil, “Ya,
kok tahu kamu?”
Kyai As’ad, “Ya,
Kyai”
Kyai Kholil, “Ini
tasbih hantarkan”
Kemudian Kyai As’ad
diberi uang 1 ringgit dan rokok. Uang tersebut dikumpulkan dengan yang dahulu,
sehingga total 3 ringgit. Karena pada saat iti Kyai As’ad mau tahu apa
berkahnya.
Lalu, saat itu pagi
hari Kyai Kholil keluar langgar.
Kyai Kholil,
“Kesini, makan dulu!”
Kyai As’ad, “Tidak
kyai, sudah minum wedang dan jajan”
Kyai Kholil,
“Darimana kamu dapat?”
Kyai As’ad, “Saya
beli di jalan Kyai”
Kyai Kholil, “Jangan
membeli dijalan! Jangan makan dijalan! Santri kok makan di jalan?”
Kyai As’ad , “Ya
Kyai” (Kyai As’ad makan di jalan dimarahi)
Kyai Kholil, “Santri
kok menjual harga dirinya? Cukup itu?”
Kyai As’ad, “Cukup
Kyai”
Kyai Kholil, “Tidak”
(Lalu Kyai Kholil memberi 1 ringgit lagi ke Kyai As’ad)
Kemudian Kyai Kholil
mengeluatkan Tasbih dan membaca Ya Jabbar (Yang Maha Kuat yang menundukkn
segalanya) 1 kali putaran tasbih dan Ya Qohhar (Yang Maha Perkasa) 1 kali
putaran tasbih. Lalu Kyai As’ad disuruh dzikir tersebut.
Kyai Kholil, “Ini”
(Kyai As’ad disuruh ambil tasbih)
Kyai As’ad justru
menengadahkan leher
Kyai Kholil, “Kok
leher?”
Kyai As’ad, “Ya
Kyai, tolong diletakkan di leher saya supaya tidak terjatuh”
Kyai Kholil, “Ya
kalau begitu”
Jadi Kyai As’ad
berkalung tasbih walaupun masih muda saat itu. Lalu Kyai As’ad berangkat ke
Tebuireng. Sama seperti saat membawakan tongkat kepada Kyai Hasyim, beliau
mendapat ujian oleh orang-orang yang sama. Beliau dikatakan gila, diejek
bahakan ada yang memuji seorang wali. Namun Kyai As’ad tidak menjawab, beliau
berpuasa dan tidak bicara hingga bertemu Kyai Hasyim barulah Kyai As’ad mau
berbicara. Beliau tidak makan, tidak merokok dan tidak bicara karena amanatnya
Kyai Kholil. Kyai As’ad tidak berani berbuat apa-apa sebagaimana kepada
Rosululloh namun ini kepada gurunya. Bahkan uangnya tidak dipakai. Saat naik
kendaraan ada penarik tiket, namun Kyai As’ad pura-pura tidur dan sama sekali
tidak dimintai tiket. Seolah-olah Kyai As’ad tidak terlihat. Menurut Kyai
As’ad, ini karena tasbih dan tongkat tersebut. Jadi selama perjalanan 2 kali
beliau tidak membeli tiket kendaraan. Menurut Kyai As’ad, mungkin ini karena
keromahnya Kyai Kholil dan Kyai Hasyim. Jadi Auliya’ iyu punya karomah dan ini
semakin menambah keyakinan Kyai As’ad dengan karomah. Lalu sampailah Kyai As’ad
di tebuireng
Kyai Hasyim, “Apa
itu?”
Kyai As’ad, “Saya
mengantarkan tasbih”
Kyai Hasyim, “Masya
Alloh... Masya Alloh... Mana Tasbihnya?”
Kyai As’ad, “Ini
Kyai” (dengan menjulurkan leher)
Kyai Hasyim, “Lho?”
Kyai As’ad, “Ini
Kyai, tasbih ini dikalungkan oleh Kyai (Kholil) ke leher saya, sampai sekarang
saya tidak memegangnya. Saya takut su’ul adab (tidak sopan) kepada guru, sebab
tasbih ini untuk anda (Kyai Hasyim)”
Kyai Hasyim, “Apa
kata Kyai?” (Kemudian tasbih tersebut diambil)
Kyai As’ad, “Ya
Jabbar... Ya Jabbar... Ya Jabbar... Ya Qohhar.... Ya Qohhar... Ya Qohhar...”
Kyai Hasyim, “Siapa
yang berani pada NU akan hancur, Siapa yang berani pada ulama akan hancur”
Kehadiran Kyai As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim
semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan
jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban
yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah.
Pada tahun 1925,
Kyai Kholil wafat atau tepatnya 29 Ramadhan.
3.
KOMITE HIJAZ DAN DIDIRIKANNYA NAHDLATUL ULAMA
Pada saat itu Raja Ibnu Saud
(Klan Al Saud dan Laskar Wahabi) menginginkan supaya melebarkan daerah
kekuasaannya sampai ke seluruh dunia Islam. Dengan dalil demi kejayaan Islam,
ia berencana untuk meneruskan kekhilafahan Islam yang telah terputus di Turki
pasca runtuhnya Daulah Usmaniyah. Untuk itu, Raja Ibnu Saud berencana
menggelar Muktamar Khilafah yang ada di Kota Suci Makkah sebagai penerus
Khilafah yang terputus itu.
Semua negara Islam di dunia akan
diundang untuk menghadiri acara muktamar tersebut, termasuk juga Indonesia.maka
puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang
diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan
dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di
Mekkah. Awalnya, utusan
yang di percaya yaitu HOS Cokroaminoto (SI), K.H. Mas Mansur
(Muhammadiyah) serta K.H. Abdul Wahab hasbullah (pesantren). Akan
tetapi, rupanya ada sedikit permainan licik di antara kelompok yang mengusung
para calon utusan Indonesia. Sebab K.H. Abdul Wahab hasbullah tidak
mewakili organisasi resmi, maka nama beliau kemudian dicoret dari daftar calon
utusan.
Peristiwa tersebut akhirnya
menyadarkan para ulama' pengasuh pesantren akan pentingnya sebuah organisasi.
Sekaligus menyisakan sakit hati yang mendalam, sebab tidak ada lagi yang bisa
dititipi sikap keberatan akan semua rencana Raja Ibnu Saud yang
bertujuan akan mengubah model beragama di Makkah. Para ulama pesantren tentu
tidak terima akan kebijakan raja yang anti kebebasan bermadzhab, anti ziarah
makam, anti maulid nabi dan lain sebagainya. Bahkan, sempat terdengar pula
berita bahwa makam Nabi Agung Muhammad SAW berencana untuk digusur.
Menurut para kiai pesantren,
pembaruan adalah suatu keharusan. K.H. Hasyim Asy'ari juga tidak
mempersoalkan dan bisa menerima gagasan para kaum modernis supaya menghimbau
umat Islam kembali pada ajaran yang 'murni'. Namun, K.H. Abdul Wahab
hasbullah tidak bisa menerima jika pemikiran mereka meminta umat Islam
melepaskan diri dari sistem bermadzhab.
Di samping itu, sebab ide pembaruan
yang dilakukan dengan cara melecehkan, merendahkan serta membodoh-bodohkan,
maka para ulama' pesantren kemudian menolaknya. Menurut mereka, pembaruan akan
tetap dibutuhkan, namun tidak dengan khazanah keilmuan yang sudah ada dan masih
bersangkutan. Karena kondisi itulah maka Jam'iyah Nahdlatul Ulama' harus
didirikan.
Karena sangat dibutuhkannya delegasi untuk acara mukhtamar menindak lanjuti undangan dari Raja Sa’ud. Maka Ulama-ulama Alussunnah Wal Jamaah melakukan mukhtamar di Surabaya sehingga dibentuklah susunan Komite Hijaz untuk menghadap raja Ibnu Sa'ud. Berikut adalah susunan Komite Hijaz:
Karena sangat dibutuhkannya delegasi untuk acara mukhtamar menindak lanjuti undangan dari Raja Sa’ud. Maka Ulama-ulama Alussunnah Wal Jamaah melakukan mukhtamar di Surabaya sehingga dibentuklah susunan Komite Hijaz untuk menghadap raja Ibnu Sa'ud. Berikut adalah susunan Komite Hijaz:
Penasehat : KH.
Abdul Wahab Hasbullah, KH. Masyhuri Lasem, KH. Kholil Lasem
Ketua :
KH. Hasan Gipo
Wakil Ketua : H.
Shaleh Syamil
Sekretaris :
Muhammad Shadiq
Pembantu : KH. Abdul
Halim
Selain Komite Hijaz,
diperlukan juga suatu wadah organisasi yang menaungi Komite Hijaz dan mewadahi
paham Ahlussunnah Wal Jamaah, maka pada tanggal 31 Januari 1926 (16
Rajab 1344 H)
didirikanlah Nahdlatul Ulama beserta susunan struktur organisasi dan
Anggaran Dasar yang disusun oleh Kyai Dahlan dari Nganjuk
Berikut susunan PBNU Generasi Pertama Tahun 1926:
Rais Akbar : K.H. Hasyim Asy'ari dari Jombang
Wakil Rais Akbar : K.H. Dahlan Ahyad dari Kebondalem, Surabaya
Katib Awal : K.H. Abdul Wahab Hasbullah dari Jombang
Katib Tsani : K.H. Abdul Claim dari Cirebon
A'wan : 1. K.H. Mas Alwi Abdul Aziz (Surabaya)
Wakil Rais Akbar : K.H. Dahlan Ahyad dari Kebondalem, Surabaya
Katib Awal : K.H. Abdul Wahab Hasbullah dari Jombang
Katib Tsani : K.H. Abdul Claim dari Cirebon
A'wan : 1. K.H. Mas Alwi Abdul Aziz (Surabaya)
2. K.H. Ridwan Abdullah (Surabaya)
3. K.H. Said (Surabaya)
4. K.H. Bisri Syamsuri (Jombang)
5. K.H. Abdullah Ubaid (Surabaya)
6. K.H. Nahrowi (Malang)
7. K.H. Amin (Surabaya)
8. K.H. Maskuri (Lasem)
9. K.H. Nahrowi (Surabaya)
Mustasyar : 1.
K.H. R. Asnawi (Kudus)
2.
K.H. Ridwan (Semarang)
3.
K.H. Mas Nawawi, Sidogiri (Pasuruan)
4.
K.H. Doro Muntoho (Bangkalan)
5.
Syeikh Ahmad Ghonaim al-Misri (Mesir)
6.
K.H. R. Hambali (Kudus)
Tanfidziyah
Ketua : H. Hasan Gipo dari Surabaya
Penulis : M. Sidiq Sugeng Judodiwirjo dari Pemalang
Bendahara : H. Burhan dari Gresikelah terbentuk
Pembantu : 1. H. Soleh Jamil (Surabaya)
Penulis : M. Sidiq Sugeng Judodiwirjo dari Pemalang
Bendahara : H. Burhan dari Gresikelah terbentuk
Pembantu : 1. H. Soleh Jamil (Surabaya)
2. H. Ichsan (Surabaya)
3. H. Dja'far Alwan
(Surabaya)
4. H. Usman (Surabaya)
5. H. Ahzab (Surabaya)
6. H. Nawawi (Surabaya)
7. H. Dahlan (Surabaya)
8. H. Mangun (Surabaya)
Setelah terbentuk NAHDLATUL ULAMA dan Komite Hijaz.
Maka berangkatlah delegasi tersebut dalam mukhtamar yang diselenggarakan oleh Raja
Sa’ud. Materi pokok yang hendak disampaikan langsung ke hadapan Raja
Ibnu Sa'ud adalah:
1.
Meminta kepada raja Ibnu Sa'ud untuk memberlakukan
kebebasan bermadzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali.
2.
Meminta tetap diramaikannya tempat bersejarah karena
tempat tersebut telah diwakafkan untuk masjid.
3.
Mohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia setiap
tahun sebelum jatuhnya musim haji, baik ongkos haji, perjalanan keliling Makkah
maupun tentang Syekh.
4.
Mohon hendaknya semua hukum yang berlaku di negeri
Hijaz, ditulis sebagai undang-undang supaya tidak terjadi pelanggaran hanya
karena belum ditulisnya undang-undang tersebut.
5.
Jam'iyyah NU mohon jawaban tertulis yang menjelaskan
bahwa utusan sudah menghadap raja Ibnu Sa'ud dan sudah pula menyampaikan
usul-usul NU tersebut.
Disinilah peran NAHDLATUL ULAMA dalam menyelamatkan
paham Ahlussunnah Wal Jamaah di Indonesia bahkan Di Dunia
Baca juga Biografi KH. Hasyim Asyari
Sumber :
1.
Al-Milal wa al-Nihal, Syaikh
Abdul Karim asy-Syahrastani
2.
Fath al-Bari fi Syarh Shohih
al-Bukhari, Al-Imam Ibnu Hajar al-Asqolani
3.
KH. Zainul Arifin, panglima
Hizbullah, Seorang Pahlawan, NU Online
4.
Pertumbuhan dan Perkembangan
NU, Drs. Choirul Anam. Bisma Satu Surabaya
5.
Resolusi Jihad dalam Peristiwa
10 November, M. Mas’ud Adnan, Jawa Pos
6.
Telaah Kritis Atas Doktrin
Faham Salafi / Wahabi, A. Sihabuddin
7.
Ad-Durar as-Saniyah
8.
Harapandansemangat.blogspot.co.id
9.
NU Online
10.
LEMBAGA BAHTSUL MASAIL PCNU Kota Surabaya
0 comments:
Post a Comment