BIOGRAFI HADHRATUS SYAIKH KH.
M. HASYIM ASY’ARI
Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy’ari, Biasa
disebut KH Hasyim Ashari, lahir pada tanggal 10
April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H) dan wafat pada 25 Juli 1947. Beliau dimakamkan
di Tebu Ireng, Jombang. KH Hasyim Asyari adalah pendiri Nahdlatul Ulama.
Berikut adalah biografi dari KH Hasyim Asyari
KH
Hasyim Asy’ari adalah putra dari Kyai Asyari.
Beliau merupakan pemimpin Pesantren Keras yang bertempat di sebelah selatan
Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, KH Hasyim Asyari merupakan
keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir atau Sultan Pajang. Kakeknya bernama Kyai
Ustman yang merupakan pemimpin pesantren Nggedang sebelah utara Jombang. Kakek
dan Ayahnya inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh
kepada KH Hasyim Asyari. Beliau merupakan putra ke-3 dari 11 bersaudara.
Merunut kepada silsilah nasab keturunan beliau, melalui
Sultan Pajang (Jaka Tingkir) yang merupakan putra dari Sunan Giri (Raden Ainul
Yaqin) dan menurut catatan nasab Sa’adah Ba’alawi Hadramaut. KH
Hasyim Asy’ari memiliki garis keturunan sampai dengan Rasulullah dengan urutan
lanjutan sebagai berikut:
Nabi
Muhammad SAW
Fatimah
binti Muhammad SAW
Husain
bin Ali
Ali
Zainal Abidin
Muhammad
al-Baqir
Ja’far
ash-Shadiq
Ali
al-Uraidhi
Muhammad
an-Naqib
Isa
ar-Rumi
Ahmad al-Muhajir
Ubaidullah
Alwi Awwal
Muhammad Sahibus Saumiah
Alwi ats-Tsani
Ali Khali’ Qasam
Muhammad Shahib Mirbath
Alwi Ammi al-Faqih
Abdul Malik (Ahmad Khan)
Abdullah (al-Azhamat) Khan
Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan)
Jamaluddin Akbar al-Husaini
(Maulana Akbar)
Maulana Ishaq
‘Ainul Yaqin (Sunan Giri)
Abdurrohman / Jaka Tingkir (Sultan
Pajang)
Abdul Halim (Pangeran Benawa)
Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda)
Abdul Halim
Abdul Wahid
Abu Sarwan
KH. Asy’ari (Jombang)
KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
Riwayat Pendidikan
Bakat kepemimpinan KH Hasyim Asyari
sudah terlihat ketika beliau masih kecil. Beliau kerap menjadi pemimpin dan
termasuk anak cerdas disbanding anak-anak lainnya yang seumuran dengan beliau.
Bahkan saat beliau berumur 13 tahun sudah membantu ayahnya mengajar ngaji
kepada santri-santri walaupun santri yang diajar KH Hasyim Asyari usiannya
lebih tua dari beliau.
Diusia 15 tahun beliau mulai menimba
ilmu ke berbagai pesantren-pesantren di berbagai daerah. Pertama
beliau menjadi santri di Pesantren Wonokoyo daerah Probolinggo. Kemudian beliau
pindah ke Pesantren Langitan, Widang, Daerah Tuban. Pindah lagi Pesantren
Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, beliau
melanjutkan ke Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan KH Cholil
Bangkalan. Kemudian KH Hasyim Asyari pindah lagi ke Pesantren Siwalan,
Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah KH Hasyim Asyari merasa
benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan.
Kyai
Ya’qub merupakan ulama yang dikenal berpandangan luas dan alim dalam ilmu
agama. Sekitar 5 tahun KH Hasyim Asyari menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan
rupanya Kyai Ya’qub sendiri tertarik kepada pemuda yang cerdas dan alim itu.
Maka,KH Hasyim Asyari yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Khadijah,
salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Beliau bersama
istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. KH Hasyim Asyari kembali ke tanah air sesudah istri dan
anaknya meninggal.
Tahun 1893, Beliau berangkat ke Tanah Suci lagi.
Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama kurang lebih 7 tahun dan berguru pada
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin
Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh
Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid
Husein Al Habsyi.
Tahun l899 pulang ke Tanah Air, KH Hasyim Asyari mengajar di pesanten
milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren
Tebuireng, Jombang. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang
petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam
seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia
memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi ke
Surabaya untuk
berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya.
Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai
Haji Hasyim Asyari menghidupi keluarga dan pesantrennya.
Tahun 1899, Kyai Haji
Hasyim Asyari
membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh
Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik
yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur
Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang
terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil
inilah awal Pesantren Tebuireng
dimulai. Kyai Haji Hasyim
Asyari mengajar dan salat
berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan
tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian
meningkat menjadi 28 orang. KH Hasyim Asyari kemudian menikah
kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan
Madiun. Dari pernikahan inilah
KH Hasyim Asyari dikaruniai 10 anak,
yaitu:
1.
Hannah
2.
Khoiriyah
3.
Aisyah
4.
Azzah
5.
Abdul Wahid atau dikenal juga Wahid Hasyim
6.
Abdul Hakim (Abdul Kholik)
7.
Abdul Karim
8.
Ubaidillah
9.
Mashuroh
10. Muhammad Yusuf.
Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga KH
Hasyim Asyari menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh
Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim
dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu:
1.
Abdul Qodir
2.
Fatimah
3.
Khotijah
4.
Muhammad Ya’kub
Maka dapat disimpulkan silsilah keilmuan beliau sebagai
berikut:
·
KH Muhammad Saleh Darat, Semarang
·
KH Cholil Bangkalan
·
Kyai Ya’qub, Sidoarjo
·
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau
·
Syaikh Mahfudz At-Tarmasi
·
Syaikh Ahmad Amin Al Aththar
·
Syaikh Ibrahim Arab
·
Syaikh Said Yamani
·
Syaikh Rahmaullah
·
Syaikh Sholeh Bafadlal
·
Sayyid Abbas Al Maliki
·
Sayyid Alwi bin Ahmad As Segaf
·
Sayyid Husain Al Habsyi
·
Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani
·
Sayyid Abdullah al-Zawawi
·
Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas
·
Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi
·
Memperoleh ijazah dari Habib Abdullah bin Ali Al Haddad
Dan masih banyak lagi guru mulia dari KH Hasyim Asyari
Suatu hari, pernah terjadi
dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari
dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari
ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai
dari Madura ini populer dipanggil. Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak
menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan
Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru
dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru
selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan
niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar
dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu
Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak
gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi.
Namun
yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil adalah kemuliaan akhlak.
Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam. Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Ribuan santri menimba ilmu kepada KH Hasyim Asyari dan setelah lulus dari pesantren Tebuireng, Jombang, tak sedikit di antara santri KH Hasyim Asyari kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas, antara lain:
Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam. Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Ribuan santri menimba ilmu kepada KH Hasyim Asyari dan setelah lulus dari pesantren Tebuireng, Jombang, tak sedikit di antara santri KH Hasyim Asyari kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas, antara lain:
·
KH
Abdul Wahab Hasbullah, Pesantren Tambak Beras, Jombang
·
KH
Bisri Syansuri, Pesantren Denanyar, Jombang
·
KH
R As’ad Syamsul Arifin
·
KH
Wahid Hasyim (anaknya)
·
KH
Achmad Shiddiq
·
Syekh
Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India)
·
Syekh
Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah)
·
Al-Syihab
Ahmad ibn Abdullah (Syiria)
·
KH
R Asnawi (Kudus)
·
KH
Dahlan (Kudus)
·
KH
Shaleh (Tayu)
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan
pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis
buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber
ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak
heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru
Besar) kepada KH Hasyim Asyari
Masa Penjajahan
Karena pengaruh
beliau yang demikian kuat itu, keberadaan KH Hasyim Asyari menjadi perhatian
serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di
antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya.
Justru KH Hasyim Asyari sempat membuat Belanda
kelimpungan.
Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda
adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena
perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana.
Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik
haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan
disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Lantas, Gubernur Jawa
Timur saat itu, Charles Olke Van Der Plas
menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri
kemudian mengurungkan niatnya.
KH Hasyim
Asyari sempat juga mencicipi
penjara 3 bulan pada tahun l942.
Tidak jelas alasan Jepang menangkap KH Hasyim
Asyari. Mungkin, karena
sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada
gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu. Inilah masa awal perjuangan KH Hasyim Asyari di Tebuireng bersamaan
dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat
Indonesia. Pasukan
Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang
undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif
Belanda.
Pada tahun 1913,
intel Belanda mengirim seorang penyusup untuk membuat keonaran
di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga
tewas.
Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap KH Hasyim Asyari dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, KH Hasyim Asyari yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap KH Hasyim Asyari dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, KH Hasyim Asyari yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda
menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan
de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Jepang menandai
datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif
kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai
upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Represi adalah penekanan
atau pengekangan. Sedangkan Kooptasi adalah usaha kerjasama yang dilakukan
dengan jalan menyepakati pemimpin. Salah
satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh
beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena KH Hasyim Asyari menolak melakukan
seikerei (kewajiban berbaris dan
membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol
penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari / Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga
wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali
berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Namun, KH Hasyim Asyari menolak aturan
tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, KH Hasyim Asyari ditangkap dan ditahan
secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan
akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa
Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta
ikut ditahan. Selama dalam tahanan, KH Hasyim
Asyari mengalami banyak
penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat
digerakkan. Setelah penahanan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asyari, segenap kegiatan
belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga
mengakibatkan keluarga
Hadratus Syaikh KH Hasyim
Asyari tercerai berai. Isteri beliau, Nyai Masruroh, harus
mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, KH Hasyim Asyari dibebaskan oleh Jepang
karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan KH Hasyim Asyari juga berkat usaha dari
Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar
Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Resolusi Jihad dan Pembentukan Partai Masyumi
Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian
Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan
Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa
(Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, KH Hasyim Asyari bersama para ulama menyerukan
Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad
ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Umat Islam yang mendengar
Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa
adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Akibatnya, meletuslah
perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu.
Peristiwa 10 November
kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Pada tanggal 7 November 1945, tiga hari sebelum
meletusnya perang 10 November
1945 di Surabaya, umat
Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia
(Masyumi).
Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. KH Hasyim Asyari diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada KH Hasyim Asyari.
Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. KH Hasyim Asyari diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada KH Hasyim Asyari.
Wafatnya KH Hasyim Asyari
Dalam
buku ‘Profil Pesantren Tebuireng’ dan NU.or.id (NU Online). Tertulis bahwa pada
tanggal 3 Ramadhan 1366 H / 21 Juli 1947 M. Jam 9 malam, KH Hasyim Asyari
selesai mengimmi shalat tarawih. Sebagaimana biasanya beliau duduk di kursi untuk
memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian datanglah tamu
utusan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo.
KH Hasyim Asyari menemui utusan
tersebut dengan didampingi Kyai Ghufron yang juga pimpinan Laskar Sabilillah
Surabaya.
Sang tamu menyampaikan surat dari Jendral Sudirman yang berisi 3 pesan pokok. Kepada utusan kepercayaan dua tokoh penting tersebut KH Hasyim Asyari meminta waktu semalam untuk berpikir dan selanjutnya memberikan jawaban. Isi pesan tersebut adalah:
Sang tamu menyampaikan surat dari Jendral Sudirman yang berisi 3 pesan pokok. Kepada utusan kepercayaan dua tokoh penting tersebut KH Hasyim Asyari meminta waktu semalam untuk berpikir dan selanjutnya memberikan jawaban. Isi pesan tersebut adalah:
1. Di wilayah Jawa Timur, Belanda melakukan serangan
militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang,
Besuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro dan Madiun.
2. Hadhratus Syaikh KH
Hasyim Asyari dimohon berkenan untuk mengungsi
ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab, jika
tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen mendukung Belanda. Jika hal
itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh.
3. Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan untuk
membantu pengungsian Kyai Hasyim.
Keesokan harinya KH
Hasyim Asyari memberikan jawaban bahwa beliau
tidak berkenan menerima tawaran yang disampaikan.
Empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Ramadhan
1366 M atau 25 Juli 1947, sekitar pukul 21.00 WIB datang lagi utusan Jendral
Soedirman dan Bung Tomo. Kedatangan utusan tersebut dengan membawa surat untuk
disampaikan kepada Hadhratus Syaikh
KH Hasyim Asyari. Secara khusus Bung
Tomo memohon kepada KH Hasyim Asyari mengeluarkan komando ‘jihad fi sabilillah’ bagi umat
Islam Indonesia. Karena saat itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan
Malang dan banyak anggota Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban.
Hadhratus Syaikh kembali meminta waktu semalam untuk memberi jawaban.
Tidak lama berselang, KH Hasyim Asyari mendapat laporan dari Kyai Ghufron selaku pimpinan Sabilillah Surabaya bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa Kota Singosari Malang yang juga merupakan basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah telah jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat.
Tidak lama berselang, KH Hasyim Asyari mendapat laporan dari Kyai Ghufron selaku pimpinan Sabilillah Surabaya bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa Kota Singosari Malang yang juga merupakan basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah telah jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat.
Mendengar laporan itu Mbah Hasyim berujar: “Masya
Allah, masya Allah…” sambil memegang kepalanya, tapi hal ini ditafsirkan oleh
Kyai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk.
Akhirnya para tamu pun pamit keluar, tetapi KH Hasyim Asyari tetap diam tidak menjawab. Sehingga Kyai Ghufron mendekat ke KH Hasyim Asyari, dan meminta kedua tamu tersebut meninggalkan tempat. Tak lama kemudian Kyai Ghufron baru menyadari bahwa KH Hasyim Asyari tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Mbah Hasyim.
Kala itu putra-putri KH Hasyim Asyari sedang tidak berada di Tebuireng. Tapi tidak lama kemudian mereka mulai berdatangan setelah mendengar sang ayahanda tidak sadarkan diri. Semisal Kyai Yusuf Hasyim yang waktu itu sedang berada di markas tentara pejuang, kemudian dapat hadir dan mendatangkan seorang dokter, yakni dr. Angka Nitisastro. Setelah diperiksa, barulah diketahui bahwa KH Hasyim Asyari mengalami pendarahan otak (asemblonding) yang sangat serius. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Alloh SWT berkehendak lain. Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari akhirnya wafat pada waktu sahur (pukul 03.00 dini hari) tanggal 07 Ramadhan 1366 H (25 Juli 1947).
Akhirnya para tamu pun pamit keluar, tetapi KH Hasyim Asyari tetap diam tidak menjawab. Sehingga Kyai Ghufron mendekat ke KH Hasyim Asyari, dan meminta kedua tamu tersebut meninggalkan tempat. Tak lama kemudian Kyai Ghufron baru menyadari bahwa KH Hasyim Asyari tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Mbah Hasyim.
Kala itu putra-putri KH Hasyim Asyari sedang tidak berada di Tebuireng. Tapi tidak lama kemudian mereka mulai berdatangan setelah mendengar sang ayahanda tidak sadarkan diri. Semisal Kyai Yusuf Hasyim yang waktu itu sedang berada di markas tentara pejuang, kemudian dapat hadir dan mendatangkan seorang dokter, yakni dr. Angka Nitisastro. Setelah diperiksa, barulah diketahui bahwa KH Hasyim Asyari mengalami pendarahan otak (asemblonding) yang sangat serius. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Alloh SWT berkehendak lain. Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari akhirnya wafat pada waktu sahur (pukul 03.00 dini hari) tanggal 07 Ramadhan 1366 H (25 Juli 1947).
Sontak para santri merasakan duka yang mendalam. Guru
yang sangat dicintainya itu telah kembali ke Ilahi Rabbi. Inna lillahi wainna ilaihi
raji’un, kabar kewafatan Pendiri NU dan Ponpes. Tebuireng itu pun dengan cepat
tersiar ke berbagai penjuru tanah air.
Rasa bela sungkawa yang amat dalam datang dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU dan terlebih para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini terbaring di pusara beliau di tengah Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
Rasa bela sungkawa yang amat dalam datang dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU dan terlebih para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini terbaring di pusara beliau di tengah Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
Pada saat mengantar kepergiannya, sahabat sekaligus
saudara beliau, KH. A. Wahab Hasbullah, sempat mengemukakan kata sambutan. Inti
dari sambutan KH. A. Wahab Hasbullah adalah menjelaskan tentang prinsip hidup
Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, diantaranya: “Berjuang terus
dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu tanpa istirahat.”
Atas jasa-jasa Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari selama
perjuangan melawan penjajah, terutama yang berkaitan dengan 2 fatwanya yang
sangat penting, yakni:
1. Perang melawan Belanda adalah jihad yang wajib
dilaksanakan oleh semua umat Islam Indonesia.
2. Kaum Muslimin diharamkan melakukan perjalanan haji
dengan kapal Belanda.\
Maka Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden
(Kepres) No. 249/1964 menetapkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai
pahlawan nasional.
Sumber :
Buku
“Profil Pesantren Tebuireng”
NU.or.id (NU Online).
Untuk KH Hasyim Asy'ari Lahu alfatihah . . .
ReplyDeleteMohon penjelasannya dari penulis, KH Hasyim asy'ari di sebut sebagai keturunan Jaka tingkir, dan jaka tingkir sebagai putra Sunan giri, padahal Dari berbagai sumber riwayat di sebut bahwa jaka tingkir putra ki ageng pengging.
ReplyDelete