Animasi Logo NU

  • Terkini!

    January 30, 2017

    BIOGRAFI HADHRATUS SYAIKH KH. M. HASYIM ASY’ARI

    BIOGRAFI HADHRATUS SYAIKH KH. M. HASYIM ASY’ARI



    Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy’ari, Biasa disebut KH Hasyim Ashari, lahir pada tanggal 10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H) dan wafat pada 25 Juli 1947. Beliau dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang. KH Hasyim Asyari adalah pendiri Nahdlatul Ulama. Berikut adalah biografi dari KH Hasyim Asyari
    KH Hasyim Asy’ari adalah putra dari Kyai Asyari. Beliau merupakan pemimpin Pesantren Keras yang bertempat di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, KH Hasyim Asyari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir atau Sultan Pajang. Kakeknya bernama Kyai Ustman yang merupakan pemimpin pesantren Nggedang sebelah utara Jombang. Kakek dan Ayahnya inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada KH Hasyim Asyari. Beliau merupakan putra ke-3 dari 11 bersaudara.
    Merunut kepada silsilah nasab keturunan beliau, melalui Sultan Pajang (Jaka Tingkir) yang merupakan putra dari Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin) dan menurut catatan nasab Sa’adah Ba’alawi Hadramaut. KH Hasyim Asy’ari memiliki garis keturunan sampai dengan Rasulullah dengan urutan lanjutan sebagai berikut:
    Nabi Muhammad SAW
    Fatimah binti Muhammad SAW
    Husain bin Ali
    Ali Zainal Abidin
    Muhammad al-Baqir
    Ja’far ash-Shadiq
    Ali al-Uraidhi
    Muhammad an-Naqib
    Isa ar-Rumi
    Ahmad al-Muhajir
    Ubaidullah
    Alwi Awwal
    Muhammad Sahibus Saumiah
    Alwi ats-Tsani
    Ali Khali’ Qasam
    Muhammad Shahib Mirbath
    Alwi Ammi al-Faqih
    Abdul Malik (Ahmad Khan)
    Abdullah (al-Azhamat) Khan
    Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan)
    Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar)
    Maulana Ishaq
    ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri)
    Abdurrohman / Jaka Tingkir (Sultan Pajang)
    Abdul Halim (Pangeran Benawa)
    Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda)
    Abdul Halim
    Abdul Wahid
    Abu Sarwan
    KH. Asy’ari (Jombang)
    KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)

    Riwayat Pendidikan
    Bakat kepemimpinan KH Hasyim Asyari sudah terlihat ketika beliau masih kecil. Beliau kerap menjadi pemimpin dan termasuk anak cerdas disbanding anak-anak lainnya yang seumuran dengan beliau. Bahkan saat beliau berumur 13 tahun sudah membantu ayahnya mengajar ngaji kepada santri-santri walaupun santri yang diajar KH Hasyim Asyari usiannya lebih tua dari beliau.
    Diusia 15 tahun beliau mulai menimba ilmu ke berbagai pesantren-pesantren di berbagai daerah. Pertama beliau menjadi santri di Pesantren Wonokoyo daerah Probolinggo. Kemudian beliau pindah ke Pesantren Langitan, Widang, Daerah Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, beliau melanjutkan ke Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan KH Cholil Bangkalan. Kemudian KH Hasyim Asyari pindah lagi ke Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah KH Hasyim Asyari merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan.
    Kyai Ya’qub merupakan ulama yang dikenal berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Sekitar 5 tahun KH Hasyim Asyari menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri tertarik kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka,KH Hasyim Asyari yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Khadijah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Beliau bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. KH Hasyim Asyari kembali ke tanah air sesudah istri dan anaknya meninggal.
    Tahun 1893, Beliau berangkat ke Tanah Suci lagi. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama kurang lebih 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.
    Tahun l899 pulang ke Tanah Air, KH Hasyim Asyari mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng, Jombang. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi ke Surabaya untuk berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Haji Hasyim Asyari menghidupi keluarga dan pesantrennya.
    Tahun 1899, Kyai Haji Hasyim Asyari membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah awal Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Haji Hasyim Asyari mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang. KH Hasyim Asyari kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan inilah KH Hasyim Asyari dikaruniai 10 anak, yaitu:
    1.      Hannah
    2.      Khoiriyah
    3.      Aisyah
    4.      Azzah
    5.      Abdul Wahid atau dikenal juga Wahid Hasyim
    6.      Abdul Hakim (Abdul Kholik)
    7.      Abdul Karim
    8.      Ubaidillah
    9.      Mashuroh
    10.  Muhammad Yusuf.
    Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga KH Hasyim Asyari menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu:
    1.      Abdul Qodir
    2.      Fatimah
    3.      Khotijah
    4.      Muhammad Ya’kub
    Maka dapat disimpulkan silsilah keilmuan beliau sebagai berikut:
    ·         KH Muhammad Saleh Darat, Semarang
    ·         KH Cholil Bangkalan
    ·         Kyai Ya’qub, Sidoarjo
    ·         Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau
    ·         Syaikh Mahfudz At-Tarmasi
    ·         Syaikh Ahmad Amin Al Aththar
    ·         Syaikh Ibrahim Arab
    ·         Syaikh Said Yamani
    ·         Syaikh Rahmaullah
    ·         Syaikh Sholeh Bafadlal
    ·         Sayyid Abbas Al Maliki
    ·         Sayyid Alwi bin Ahmad As Segaf
    ·         Sayyid Husain Al Habsyi
    ·         Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani
    ·         Sayyid Abdullah al-Zawawi
    ·         Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas
    ·         Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi
    ·         Memperoleh ijazah dari Habib Abdullah bin Ali Al Haddad
    Dan masih banyak lagi guru mulia dari KH Hasyim Asyari
    Suatu hari, pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil. Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
    Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi.
    Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil adalah kemuliaan akhlak.
    Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.
    Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam. Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Ribuan santri menimba ilmu kepada K
    H Hasyim Asyari dan setelah lulus dari pesantren Tebuireng, Jombang, tak sedikit di antara santri KH Hasyim Asyari kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas, antara lain:
    ·         KH Abdul Wahab Hasbullah, Pesantren Tambak Beras, Jombang
    ·         KH Bisri Syansuri, Pesantren Denanyar, Jombang
    ·         KH R As’ad Syamsul Arifin
    ·         KH Wahid Hasyim (anaknya)
    ·         KH Achmad Shiddiq
    ·         Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India)
    ·         Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah)
    ·         Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria)
    ·         KH R Asnawi (Kudus)
    ·         KH Dahlan (Kudus)
    ·         KH Shaleh (Tayu)
    Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada KH Hasyim Asyari
    Masa Penjajahan
    Karena pengaruh beliau yang demikian kuat itu, keberadaan KH Hasyim Asyari menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru KH Hasyim Asyari sempat membuat Belanda kelimpungan.
    Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana.
    Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Lantas, Gubernur Jawa Timur saat itu, Charles Olke Van Der Plas menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
    KH Hasyim Asyari sempat juga mencicipi penjara 3 bulan pada tahun l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap KH Hasyim Asyari. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu. Inilah masa awal perjuangan KH Hasyim Asyari di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda.
    Pada tahun 1913, intel Belanda mengirim seorang penyusup untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.
    Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap K
    H Hasyim Asyari dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, KH Hasyim Asyari yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
    Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Jepang menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Represi adalah penekanan atau pengekangan. Sedangkan Kooptasi adalah usaha kerjasama yang dilakukan dengan jalan menyepakati  pemimpin. Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena KH Hasyim Asyari menolak melakukan seikerei (kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari / Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Namun, KH Hasyim Asyari menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, KH Hasyim Asyari ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, KH Hasyim Asyari mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan. Setelah penahanan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asyari, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh KH Hasyim Asyari tercerai berai. Isteri beliau, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
    Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, KH Hasyim Asyari dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan KH Hasyim Asyari juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
    Resolusi Jihad dan Pembentukan Partai Masyumi
    Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, KH Hasyim Asyari bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu.
    Peristiwa 10 November kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Pada tanggal 7 November 1945, tiga hari sebelum meletusnya perang 10 November 1945 di Surabaya, umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi).
    Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. K
    H Hasyim Asyari diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada KH Hasyim Asyari.

    Wafatnya KH Hasyim Asyari
                Dalam buku ‘Profil Pesantren Tebuireng’ dan NU.or.id (NU Online). Tertulis bahwa pada tanggal 3 Ramadhan 1366 H / 21 Juli 1947 M. Jam 9 malam, KH Hasyim Asyari selesai mengimmi shalat tarawih. Sebagaimana biasanya beliau duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian datanglah tamu utusan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo. KH Hasyim Asyari menemui utusan tersebut dengan didampingi Kyai Ghufron yang juga pimpinan Laskar Sabilillah Surabaya.
    Sang tamu menyampaikan surat dari Jendral Sudirman yang berisi 3 pesan pokok. Kepada utusan kepercayaan dua tokoh penting tersebut
    KH Hasyim Asyari meminta waktu semalam untuk berpikir dan selanjutnya memberikan jawaban. Isi pesan tersebut adalah:
    1.      Di wilayah Jawa Timur, Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Besuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro dan Madiun.
    2.      Hadhratus Syaikh KH Hasyim Asyari dimohon berkenan untuk mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab, jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh.
    3.      Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan untuk membantu pengungsian Kyai Hasyim.
    Keesokan harinya KH Hasyim Asyari memberikan jawaban bahwa beliau tidak berkenan menerima tawaran yang disampaikan.
    Empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M atau 25 Juli 1947, sekitar pukul 21.00 WIB datang lagi utusan Jendral Soedirman dan Bung Tomo. Kedatangan utusan tersebut dengan membawa surat untuk disampaikan kepada Hadhratus Syaikh KH Hasyim Asyari. Secara khusus Bung Tomo memohon kepada KH Hasyim Asyari mengeluarkan komando ‘jihad fi sabilillah’ bagi umat Islam Indonesia. Karena saat itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak anggota Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban. Hadhratus Syaikh kembali meminta waktu semalam untuk memberi jawaban.
    Tidak lama berselang,
    KH Hasyim Asyari mendapat laporan dari Kyai Ghufron selaku pimpinan Sabilillah Surabaya bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa Kota Singosari Malang yang juga merupakan basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah telah jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat.
    Mendengar laporan itu Mbah Hasyim berujar: “Masya Allah, masya Allah…” sambil memegang kepalanya, tapi hal ini ditafsirkan oleh Kyai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk.
    Akhirnya para tamu pun pamit keluar, tetapi
    KH Hasyim Asyari tetap diam tidak menjawab. Sehingga Kyai Ghufron mendekat ke KH Hasyim Asyari, dan meminta kedua tamu tersebut meninggalkan tempat. Tak lama kemudian Kyai Ghufron baru menyadari bahwa KH Hasyim Asyari tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Mbah Hasyim.
    Kala itu putra-putri
    KH Hasyim Asyari sedang tidak berada di Tebuireng. Tapi tidak lama kemudian mereka mulai berdatangan setelah mendengar sang ayahanda tidak sadarkan diri. Semisal Kyai Yusuf Hasyim yang waktu itu sedang berada di markas tentara pejuang, kemudian dapat hadir dan mendatangkan seorang dokter, yakni dr. Angka Nitisastro. Setelah diperiksa, barulah diketahui bahwa KH Hasyim Asyari mengalami pendarahan otak (asemblonding) yang sangat serius. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Alloh SWT berkehendak lain. Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari akhirnya wafat pada waktu sahur (pukul 03.00 dini hari) tanggal 07 Ramadhan 1366 H (25 Juli 1947).
    Sontak para santri merasakan duka yang mendalam. Guru yang sangat dicintainya itu telah kembali ke Ilahi Rabbi. Inna lillahi wainna ilaihi raji’un, kabar kewafatan Pendiri NU dan Ponpes. Tebuireng itu pun dengan cepat tersiar ke berbagai penjuru tanah air.
    Rasa bela sungkawa yang amat dalam datang dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU dan terlebih para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini terbaring di pusara beliau di tengah Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
    Pada saat mengantar kepergiannya, sahabat sekaligus saudara beliau, KH. A. Wahab Hasbullah, sempat mengemukakan kata sambutan. Inti dari sambutan KH. A. Wahab Hasbullah adalah menjelaskan tentang prinsip hidup Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, diantaranya: “Berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu tanpa istirahat.”
    Atas jasa-jasa Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari selama perjuangan melawan penjajah, terutama yang berkaitan dengan 2 fatwanya yang sangat penting, yakni:
    1.      Perang melawan Belanda adalah jihad yang wajib dilaksanakan oleh semua umat Islam Indonesia.
    2.      Kaum Muslimin diharamkan melakukan perjalanan haji dengan kapal Belanda.\
    Maka Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964 menetapkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai pahlawan nasional.
    Sumber :
    Buku “Profil Pesantren Tebuireng

    NU.or.id (NU Online).
    • Google Comments
    • Facebook Comments

    2 comments:

    1. Untuk KH Hasyim Asy'ari Lahu alfatihah . . .

      ReplyDelete
    2. Mohon penjelasannya dari penulis, KH Hasyim asy'ari di sebut sebagai keturunan Jaka tingkir, dan jaka tingkir sebagai putra Sunan giri, padahal Dari berbagai sumber riwayat di sebut bahwa jaka tingkir putra ki ageng pengging.

      ReplyDelete

    Item Reviewed: BIOGRAFI HADHRATUS SYAIKH KH. M. HASYIM ASY’ARI Rating: 5 Reviewed By: Situs Resmi KMNU Undip
    Scroll to Top