Keluarga Mahasiswa Nahdlatul
Ulama Universitas Diponegoro (KMNU Undip) kembali menunjukkan keistiqomahannya
dalam berdakwah ditengah padatnya kegiatan kampus. Kajian Rutin Islami Ahlusunah Wal Jamaah an Nahdliyyah ini
dilaksanakan pada hari Sabtu, 01 Oktober 2016 bertempat di Masjid Baitul
Muttaqin, Jl. LPPU, Tembalang. Ada yang istimewa dengan kajian kali ini, Selain
2 (dua) kitab yang sudah secara rutin dikaji yaitu ‘Kitab Khulashoh Nurul
Yaqin’ dan ‘Adabuzzifaf’ Kajian kali ini juga mengangkat Tema “Kupas Tuntas
Seputar Bid’ah” yang sumbernya diambil dari kitab Ad Difa. Kajian sampaikan oleh Habib Muhammad bin
Farid Al Muthohar.
Kajian dimulai pukul 7.30 WIB dan
diawali dengan Pembacaan Maulid Al Banzanji yang diikuti oleh Puluhan Mahasiwa
dari Universitas Diponegoro(UNDIP), Politeknik Negeri Semarang (POLINES),
Universitas Negeri Semarang(UNNES) dan Masyarakat Umum.
Kajian Kitab yang pertama adalah
Kitab Ad Difa. Berikut adalah penjelasannya.
ADAKAH BID`AH HASANAH ?
Dalam salah satu khutbahnya,
Rasulullah saw bersabda :
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ
اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma
ba`du. Sesungguhnya sebaik-baiknya pembicaraan adalah kitab Allah,
sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruknya perkara
adalah hal-hal baru yang diadakan darinya dan semua bid'ah itu sesat." (HR
Muslim)(1)
Mereka berkata
Hadits ini membuktikan kesalahan
mereka yang menganggap adanya bid`ah hasanah (bid`ah yang baik). Dalam hadits
tersebut Rasulullah menggunakan lafadz kullu yang artinya setiap. Dengan
demikian setiap perbuatan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah adalah bid`ah,
dan setiap bid`ah adalah sesat.
Kami menjawab
Untuk menjawab syubhat ini,
terlebih dahulu kita harus memahami definisi bid`ah. Terdapat beberapa
pendekatan yang dilakukan oleh para ulama di dalam mendefinisikan bid’ah.
Perbedaan cara pendekatan ini disebabkan keragaman cara pandang mengenai apakah
kata bid’ah selalu dikonotasikan dengan kesesatan, atau tergantung dari
tercakup dan tidaknya sesuatu dalam ajaran Islam.
Arti bid’ah sendiri secara bahasa
adalah: sesuatu yang asing, tidak dikenal pada zaman Rasulullah saw(2).
Sedangkan inti pengertian bid’ah
yang sesat (bid`ah syar`iyah) secara sederhana adalah: segala bentuk perbuatan
atau keyakinan yang bukan bagian dari ajaran Islam, dan dikesankan seolah-olah
bagian dari ajaran Islam(3. Contohnya adalah
membaca ayat-ayat al-Qur’an atau shalawat disertai alat-alat musik yang
diharamkan, keyakinan/faham kaum Mu’tazilah, Qodariyah, Syi’ah, termasuk pula
paham-paham Liberal yang marak akhir-akhir ini, dan lain-lain.
Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdus Salam
menyatakan: “Apabila pengertian bid’ah ditinjau dari segi bahasa, maka terbagi
menjadi lima hukum :
1. Haram, seperti keyakinan kaum Qodariyah dan
Mu’tazilah.
2. Makruh, seperti membuat hiasan-hiasan dalam
masjid.
3. Wajib, seperti belajar ilmu gramatikal
Bahasa Arab (Nahwu) untuk memahami Al-Quran dan hadits.
4. Sunnah, seperti membangun lembaga
pendidikan dan shalat tarawih berjamaah.
5. Mubah, seperti jabat tangan setelah shalat.
Alhasil, menurut Imam ‘Izzuddin,
segala kegiatan keagamaan yang tidak ditemukan pada zaman Rasulullah SAW,
hukumnya bergantung pada tercakupnya dalam salah satu kaidah hukum Islam,
haram, makruh, wajib, sunnah, atau mubah. Sebagai contoh, belajar ilmu Nahwu
untuk menunjang belajar ilmu syariat yang wajib, maka hukum belajar ilmu ini
menjadi wajib.”.(4)
Hadits tentang bid`ah
Hadits riwayat sayyidatina
A’isyah :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. رواه مسلم
Dari ‘Aisyah ra. ia berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang melakukan suatu
perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak.”(HR
Muslim)(5)
Hadits ini sering dijadikan dalil
untuk melarang semua bentuk perbuatan yang tidak pernah dilaksanakan pada masa
Nabi saw. Padahal maksud yang sebenarnya bukanlah seperti itu. Perkataan لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا
(perbuatan yang tiada perintah kami atasnya), dengan jelas menunjukkan bahwa
perbuatan yang tertolak adalah yang tidak selaras dengan perintah syariat, baik
secara eksplisit (jelas) atau implisit (isyarat). Sedangkan perbuatan yang
selaras dengan syariat tidaklah termasuk dalam ancaman hadits tersebut(6).
Pemahaman ini sesuai dengan
kandungan makna hadits :
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ
مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ
سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
(رواه مسلم
“Barangsiapa yang menggagas
sebuah jalan (sunnah) yang baik dalam Islam, maka dia memperoleh pahalanya dan
juga pahala orang yang melaksanakanya dengan tanpa dikurangi sedikit pun. Dan
barangsiapa yang menggagas sebuah jalan (sunah) yang jelek dalam Islam, maka
dia akan terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang melaksanakannya dengan
tanpa dikurangi sedikit pun.” (HR
Muslim) (7)
Ini merupakan anjuran dari
Rasulullah agar kita berinisiatif dengan prakarsa yang baik, bermanfaat dan
sesuai dengan syariat agar bisa kita amalkan dan diamalkan orang-orang setelah
kita. Sekaligus ini menjadi larangan keras untuk mengada-adakan gagasan buruk
yang bisa merugikan kita dan orang-orang setelah kita nantinya(8).
Dalam hadits ini Rasulullah tidak
membatasi inisiatif tersebut dengan hal-hal dunia saja. Mereka yang mengatakan
bahwa hadits ini khusus mengenai gagasan dalam urusan dunia, maka telah
mengada-ngada. Ini dapat kita lihat dari komentar ulama ketika menyebutkan contoh-contoh bid`ah setelah
membahas hadits tersebut. Mereka mencampurkan antara contoh bid`ah dalam agama
dan dalam dunia.(9)
Sebagian mereka yang menentang
pembagian bid`ah mengatakan bahwa makna hadits ini adalah identik dengan makna hadits :
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّةِ الرَّسُوْلِ
صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَهُ ثَوَابُهَا وَثَوَابُ مَنْ اِتَّبَعَهُ بِهَا
“Barang
siapa yang menghidupkan sunnah dari sunah Rasulullah maka bagi dia pahalanya
dan pahala orang yang mengikutinya.” (HR Turmudzi)(10)
Jadi menurut mereka, yang
dimaksud dengan sunnah dalam hadits tersebut adalah sunnah yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Pendapat yang mereka ajukan tidak
sesuai dengan keumuman lafadz yang ada dalam hadits tersebut. Memang hadits ini
datang karena inisiatif salah seorang anshor untuk memberikan sedekah kepada
salah satu kaum Arab yang datang kepada Nabi. Kemudian orang-orang mulai
berdatangan untuk memberikan sedekah mengikuti jejak orang anshor tersebut(11).
Akan tetapi sesuai kaidah yang dijadikan patokan adalah keumuman lafadz, bukan
kekhususan sebab (al-ibroh bi ‘umumi al-lafdh laa bikhususi as-sabab)
.Lagipula, jika kita fahami sunnah di atas sebagai sunnah Rasulullah, bagaimana
kita memahami lanjutan hadits tersebut :
وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً
“Dan
barangsiapa yang menciptakan satu gagasan yang buruk dalam islam.”
Perhatikan kata-kata سُنَّةً سَيِّئَةً (sunnah yang buruk).
Apakah ada sunnah Rasulullah yang buruk ? Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud
dengan sunnah dalam hadits tersebut bukanlah sunnah Rasulullah.
Lafadz kullu
Ibn Mas’ud meriwayatkan sebuah
hadits :
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ, أَنَّ رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَلاَ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ
فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ. رواه ابن ماجه
“Dari
‘Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “ Ingatlah,
berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal bar, karena perkara yang
paling jelek adalah membuat hal baru, dan setiap perbuatan yang baru itu adalah
bid’ah, dan semua bid’ah itu sesat.” (HR Ibnu Majah)(12).
Hadits ini pun sering dijadikan
dasar dalam memvonis bid’ah terhadap segala perkara baru yang tidak ada pada
zaman Rasulullah SAW. Para sahabat atau tabi’in dengan pertimbangan bahwa
hadits ini menggunakan kalimat kullu (semua), yang secara tekstual seolah-olah
diartikan semuanya atau seluruhnya.
Namun, dalam menanggapi makna
hadits ini, khususnya pada kalimat وَكُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ, terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama.
Pertama, ulama’ memandang hadits
ini adalah kalimat umum namun dikhususkan hanya pada sebagian saja (عَامٌ مَخْصُوْصُ اْلبَعْضِ),
sehingga makna hadits ini adalah bid’ah yang buruk itu sesat. (13) Hal ini
didasarkan pada kata kullu, karena pada hakikatnya tidak semua kullu berarti
seluruh atau semua. Sebagaimana contoh-contoh berikut :
Al Quran surat Al Kahfi : 79
{أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ
لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ
مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا} [الكهف: 79]
”Ada pun
bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku
bertujuan merusak bahtera itu, karena dihadapan mereka ada seorang raja
yang merampas tiap-tiap bahtera. “ (QS
Al Kahfi : 79)
Meski menggunakan kata كُلُّ (semua), yang
dimaksud dengan perahu dalam ayat ini bukan semua perahu melainkan perahu yang
baik saja(14). Oleh karena itulah maka Nabi Khidir membuat aib dalam perahu agar
tidak dirampas oleh raja.
Al-Qur’an surat Al-Anbiya’ ; 30 :
( {وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ
حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ} [الأنبياء: 30]
“Dan dari
air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga
beriman?” (QS Al-Anbiya’:30)
Meski ayat ini menggunakan kata
kullu, namun tidak berarti semua makhluk hidup diciptakan dari air. Perhatikan
ayat al-Qur’an berikut ini:
}وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ}
[الرحمن: 15[
“Dan
Allah SWT menciptakan Jin dari percikan api yang menyala.” (QS Ar-Rahman:15)
Begitu juga para malaikat,
tidaklah Allah ciptakan dari air.
Hadits riwayat Imam Ahmad :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَة
Rasulullah SAW bersabda: “ Setiap
mata berzina.” (Musnad Imam Ahmad)
Walau hadits di atas menggunakan
kata kullu, namun tidak berarti keseluruhan/semua, akan tetapi bermakna
sebagian, yaitu mata yang melihat kepada ajnabiyah.
Kedua, Sebagian ulama menetapkan
bahwa kullu dalam hadits tersebut bermakna umum dan menyeluruh bukan sebagian.
Namun mereka mengarahkan pengertian bid’ah yang dimaksud dakam hadits tersebut
kepada makna bid`ah syar’iyah (dari sudut pandang syariat), yaitu perkara baru
yang tidak didapatkan di masa Rasulullah SAW, dan tidak ada sandarannya sama
sekali dalam usul hukum syariat. Telah kita ketahui bahwa perkara yang
bertentangan dengan syariat, baik secara umum atau isi yang terkandung di
dalamnya, maka haram dan sesat. Dengan demikian, maknaDengan demikian, maka
perkara baru yang tidak bertentangan dengan syari’at tidaklah sesat(15).
Bid`ah hasanah: Sebuah kemestian.
Pada prakteknya pembagian bid`ah
menjadi bid`ah yang baik dan bid`ah yang buruk sesuai dengan tinjauan
bahasa telah berlaku sejak masa
Rasulullah saw. Bahkan penggunaan istilah bid`ah untuk sesuatu yang baik telah
lazim digunakan dalam tradisi Islam. Jika kita memperhatikan
literatur-literatur Fiqih Islam, dengan mudah kita dapat menemukan kata-kata
seperti ini adalah bid`ah hasanah, ini
adalah bid`ah yang tercela atau kata-kata yang semisalnya.
Hal ini tak perlu dirisaukan
sebab istilah bahasa ini memang telah umum digunakan bahkan sejak zaman para
sahabat.
Ketika melihat kaum muslimin
melakukan shalat tarawih berjamaah,`Sayidina Umar berkata: نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هَذِهِ (Inilah
sebaik-baiknya bid`ah)(16). Perhatikan bagaimana Umar dengan bebas menggunakan
istilah bid`ah untuk pekerjaan yang baik. Ini menunjukkan bahwa di zaman
sahabat, istilah bid`ah tidak selalu dikonotasikan kepada bid`ah yang buruk,
tetapi umum juga digunakan untuk perkara baru yang baik. Begitu juga di masa
tabi`in, pembagian bid`ah menjadi yang baik dan buruk merupakan kesepakatan
yang terjadi di antara mereka.
Al Imam Syafi`i berkata :
اَلْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ، أَحَدُهُمَا مَا أُحْدِثَ
مِمَّا يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا فَهَذِهِ اْلبِدْعَةُ
الضَّلاَلَةُ وَالثَّانِي مَا أُحْدِثَ مِنَ اْلخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ
مِنْ هَذَا، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ،... ]البيهقي بإسناده في مناقب
الشافعي [
“Hal baru
terbagi menjadi dua, pertama apa yang bertentangan dengan Al- Quran, Sunah,
atsar, dan ijma, maka inilah bid`ah dholalah. Yang kedua adalah hal baru dari
kebaikan yang tidak bertentangan dengan salah satu dari yang telah disebut,
maka tidak ada khilaf bagi seorang pun mengenainya bahwa hal baru ini tidak
tercela....(17)”
Perhatikan perkataan imam Syafii
“لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هَذَا” (tidak ada khilaf bagi seorang pun mengenainya). Ini
menunjukkan bahwa para tabi`in bersepakat mengenai adanya pembagian bid`ah
kepada bid`ah yang baik dan bid`ah yang buruk.
Begitulah seterusnya, para ulama
telah menyepakati ada dan legalnya bid`ah hasanah. Al imam Abu Syamah
menyatakan :
فَالْبِدَعُ اْلحَسَنَةُ مُتَّفَقٌ عَلَى جَوَازِ فِعْلِهَا وَالْاِسْتِحْبَابِ
لَهَا وَرَجَاءِ الثَّوَابِ لِمَنْ حَسُنَتْ نِيَّتُهُ فِيْهَا
“Sedangkan mengenai bid`ah-bid`ah yang baik,
maka telah disepakati tentang kebolehan untuk mengerjakannya dan anjuran
untuknya, serta berharap pahala bagi orang yang baik niatnya dalam
mengerjakannya.”(18)
Perhatikan ucapan imam Abu Syamah
yang tanpa ragu menggunakan istilah bid`ah hasanah. Bukan hanya ada, bid`ah
hasanah bahkan telah disepakati boleh dilakukan.
Masih banyak lagi ucapan ulama
yang mengindikasikan kelaziman penggunaan istilah bid`ah untuk bid`ah yang yang
baik dan yang buruk. Di antaranya adalah ucapan Imam Izuddin bin Abdus Salam
dalam kitabnya Qowaidul Ahkam(19), Imam Nawawi dalam Tahdzibul Asma’(20), Imam
Qurtubi dalam tafsirnya(21), Al Baji dalam Al Muntaqo syarah Muwatho(22), Ibnu
Hajar Atsqolani dalam Fathul Bari(23) , Al Ainiy dalam `Umdatul Qoriy (24), Al
Khotib Syarbani dalam tafsirnya(25), Ibnu Atsir dalam Nihayah(26), Al
Mubarokfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi(27), Ibnu Rojab dalam Jami`ul `Ulum wal
Hikam(28), Imam Alusi dalam tafsirnya(29), Ibnu Asyur dalam tafsirnya(30), Al
Ghozali dalam Ihya` Ulumiddin(31), Imam Syuyuthi dalam fatawanya(32), Ibnu
Hajar al Haitsami dalam fatawanya (33), Abu Thayib Abadi dalam `Aunul
Ma`bud(34), Mula Ali Qori` dalam Maraqatil Mafatih (35), Ibnu Bathal (36)
Sayaikh Isma`il Haqi dalam tafsirnya(37), Ibnu `Abidin dalam Radul Mukhtar
(38), Imam Syaukhani dalam Nailul Author(39) dan masih banyak ulama lain yang
tidak mungkin disebut satu per satu.
Dari uraian singkat ini kita
dapat mengambil kesimpulan bahwa kita tidak bisa menyalahkan seorang yang
menggunakan istilah bid`ah untuk menunjukkan bid`ah yang baik, karena hal itu
sama saja dengan menyalahkan banyak ulama kredibel yang menjadi rujukan ilmu
sepanjang masa.
Tak perlu kita bermain kata-kata
dengan, misalnya, menggunakan istilah maslahat mursalat untuk bid`ah yang
dibolehkan, karena para ulama yang telah disebutkan sama sekali tidak
menggunakan istilah maslahat mursalah untuk itu. Dengan tegas mereka mengatakan,
“ini bid`ah yang baik” atau “ini bid`ah yang buruk.” dan bukan “ini maslahat
mursalah, dan ini bid`ah.” Perhatikan perkataan Sayidina Umar dan Imam Syafi`i
yang hidup dekat dengan zaman Rasulullah. Istilah apa yang mereka gunakan?
Bid`ah atau maslahat mursalah ?
Kemudian dilanjutkan dengan
Kajian Kitab Khulashoh Nurul Yaqin. Sampai pada Bab 13 (Tiga Belas) yaitu
Tentang Keadaan Masyarakat Arab sebelum Islam masuk. Islam adalah agama yang
Rahmatan Lil ‘alamin, agama yang penuh dengan kasih sayang. Dahulu sebelum
Islam masuk Arab, masyarakat Arab adalah masyarakat Jahiliyah. Digambarkan
dalam kitab ini, bahwa ada 4 (empat) keadaan
masyarakat Arab sebelum islam masuk :
1. Kebanyakan
dari mereka adalah golongan Kaum Musyrikin.
2. Mereka
membunuh Anak-anaknya karena khawatir jatah makannya akan berkurang.
3. Mereka
mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan, karena takut jika besar nanti
anak-anak perempuannya ini akan menjadi Aib keluarga.
4. Mereka
saling berperang antara kaum yang satu dengan yang lainnya.
Kajian kitab yang terakhir adalah
Kitab Adabuz Zifaf. Kembali dijelaskan oleh beliau bagaimana seharusnya Adab
bagi seorang suami istri dalam bergaul.
Di akhir kajian, Al Habib
Muhammad bin Farid Al Muthohar memberikan kesempatan kepada para Jama’ah untuk
bertanya seputar materi yang telah
dibahas bahkan diperbolehkan bertanya diluar Materi. Dengan sangat
antusias Jamaah berebut ingin bertanya seputar permasalahan – permasalahan
agama. Beliau Al Habib Muhammad bin Farid Al Muthohar menjawab dengan singkat, padat
namun mudah dicerna oleh Jamaah yang sebagian besar dari kalangan Mahasiswa.
Pembawaan dalam penyampaian materinya yang komunikatif membuat Jamaah semangat
untuk datang ke kajian rutin ini. Alhasil jumlah jamaah yang datang kajian kali
ini meningkat dari kajian sebelum-sebelumnya.
Beliau selalu berpesan , ajaklah
setiap orang yang ada disekitar kita untuk datang ke majelis Ilmu yang mulia
ini. Karena jika kita mengajak orang lain daalm hal kebaikan, maka kita akan
mendapatkan pahala yang sama dengan pahala orang yang melakukan kebaikan itu.
0 comments:
Post a Comment