Animasi Logo NU

  • Terkini!

    April 26, 2015

    Kenapa Harus Takut Bid'ah [?] (BAGIAN 1)

    Oleh: TAJUZ ZUHUD | Asisten Direktur Aswaja NU Center Pakong

    Gambar. Tahlilan, salah satu amalan yang sering dituduh bid'ah
    Akhir-akhir ini masyarakat cukup diresahkan oleh sempalan kelompok yang berteriak menyuarakan diri untuk kembali ke al-Quran dan Hadis. Sehingga tidak sedikit amalan yang digenggam erat oleh ulama salaf divonis secara sepihak sebagai amaliah batil yang perlu dimusnahkan. Sebab, kata mereka, sudah tidak sejalan lagi dengan syariat yang diterapkan oleh Rasulullah Saw.

    Bid'ah! kata andalan yang sering mereka gembar-gemborkan untuk mengikis amaliah keseharian warga Nahdliyin dengan sedikit mengutip hadis “Setiap bid'ah sesat. Setiap kesesatan di Neraka”.
    Hadis shahih riwayat Imam Muslim dan an-Nasa'i ini begitu familiar di telinga kita. Mulai dari yang dewasa hingga yang masih belia hafal di luar kepala. Namun ironisnya, hanya segelintir orang yang bisa memahami maksud hadis tersebut. Mayoritas hanya menelan begitu saja tanpa mengolahnya terlebih dahulu.

    Berikut Penulis suguhkan sedikit ulasan tentang definisi dan klasifikasi bid'ah yang dikutip dari beberapa kitab dan buku berhaluan ahlussunnah wal jamaah.

    Definisi Bid'ah

    Menurut hemat Ibnu Faris, pakar bahasa dan sastra Arab dalam Maqayis al-Lughahnya, bid'ah dalam bahasa Arab berasal dari fi'il madhi بَدَعَ yang mempunyai dua arti. Pertama, membuat hal baru tanpa contoh sebelumnya, seperti disebutkan dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 117
    بَدِيْعُ السَّمَوَاتِ وَالْاَرْضِ
    “Allah Pencipta lagit dan bumi..” di ayat lain dicontohkan juga
    قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
    “Katakanlah; “Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul” (QS. al-Ahqaf: 9)

    Kedua, bid'ah diartikan lemah atau letih, seperti disebutkan dalam hadis riwayat Imam Muslim:
    اِنِّيْ اُبْدِعَ بِيْ فَاحْمِلْنِيْ
    “Sungguh aku tidak mampu melanjutkan perjalanan, maka bawalah aku”

    Sementara bid'ah dalam terminologi syara' adalah setiap pembaruan akidah, perbuatan ataupun ucapan tanpa legalitas syariat sama sekali, serta diklaim sebagai bagian darinya. Sedangkan pembaruan dengan dilandasi dalil syara yang membenarkannya bukanlah termasuk bid'ah menurut syara', namun tetap disebut bi'dah secara bahasa. Demikian yang diungkapkan oleh Ibnu Rajab dalam Jami' al-Ulum wal Hikamnya yang senada dengan penjelasan yang dijabarkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Barinya.

    Menanggapi hadis riwayat Muslim:
    وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
    “Setiap bid'ah (pembaruan) adalah kesesatan” dalam riwayat lain ada penambahan:
    وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
    “Setiap kesesatan masuk neraka” (HR. an-Nasa'i) merupakan dasar agama yang masih global, mencakup  segala bentuk pembaharuan dalam agama. Oleh karenanya perlu adanya pembatas agar pemahamannya tidak buram dan rancu.

    Rasulullah Saw. dalam kesempatan lain bersabda yang secara implisit menjadi pembatas hadis di atas;
    مَنْ اَحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
    “Siapa saja yang membuat pembaruan dalam agamaku ini dengan hal yang bukan darinya maka ia tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim)

    Jadi tidak semua pembaruan langsung divonis bid'ah yang sesat, hanya pembaruan-pembaruan yang tidak dilandasi dalil agama belaka.

    Klasifikasi Bid'ah

    Dari definisi di atas dapat dipetik kesimpulan bahwa bid'ah terbagi menjadi dua: ada yang sesat dan ada yang tidak. Sebagaimana diklasifikasi Imam Syafi'i, yang dinukil oleh al-Baihaqi dalam Manaqibnya (I/469) menjelaskan bahwa bid'ah terbagi dua. Pertama, bid'ah yang sesat adalah sesuatu yang baru yang menyalahi al-Quran, Sunnah dan Ijma'. Kedua, bid'ah hasanah (tidak sesat/baik) yaitu sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Quran, Sunnah dan Ijma'.

    Klasifikasi ini disetujui oleh Ibnu Taimiyah, rujukan paling otoritatif Wahabi dalam Majmu' al-Fatawanya (XX/163). Serta diamini oleh ulama Syiah Zaidiyah yang dikagumi Wahabi Indonesia, Muhammad bin Ali As-Syaukani dalam Nail al-Autharnya (III/25).

    Bahkan Syaikh Izzuddin bin Abdissalam membagi bid'ah menjadi lima. Yaitu; pertama bid'ah wajib, seperti belajar ilmu nahwu untuk memahami al-Quran dan Hadis. Kedua bid'ah sunnah, seperti mendirikan pesantren, madrasah dan setiap kegiatan sosial yang belum dikenal pada zaman Rasulullah Saw. Ketiga bid'ah mubah, seperti berjabat tangan setelah salat dan membaca taawudz sebelum salat. Keempat, bid'ah makruh, seperti menghiasi masjid dan mushaf al-Quran. Kelima bid'ah haram, seperti madzhab Jabariyah dan Qadariyah.

    Pembagian bid'ah versi Syaikh Izzuddin ini juga diiyakan oleh ulama Syiah Zaidiyah yang dikagumi oleh kaum Wahabi, Muhammad bin Isma'il al-Amir as-Shan'ani dalam Subulus Salamnya (II/48).

    Oleh karenanya amalan semacam tahlilan, maulid, haul, ziarah makam para wali dan semacamnya adalah pembaruan yang bukan termasuk bid'ah yang sesat, bahkan dianjurkan. Sebab memiliki banyak dalil syara' yang melegalkannya. Wallahu A'lam. []

    Sumber: Buletin KISWAH
    KMNU UNDIP

    Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama Universitas Diponegoro

    Website: KMNU UNDIP

    • Google Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Kenapa Harus Takut Bid'ah [?] (BAGIAN 1) Rating: 5 Reviewed By: Administrator
    Scroll to Top