Kajian Ramadhan Habib Luthfi bin Yahya: Shahih Bukhari BAB TAYAMUM
Setelah malam sebelumnya mengaji
tafsir, malam ini (Rabu, 8/6/2016) diselingi dengan kajian hadits Shahih
Bukhari. Alkisah, pernah ada seorang sahabat berguling-guling di tanah
karena ia harus mandi besar karena ketiadaan air. Ia mengira, bahwa ia
harus melumuri tubuhnya dengan debu. Sebab ia beranalogi kalau wudhu
yang mengusap hanya wajah, kepala, tangan dan kaki diganti dengan
tayammum yang mengusap wajah dan telapak tangan, maka mandi janabah
(junub) yang harus membasuh seluruh tubuh diganti dengan tayammum
seluruh tubuh.
Setelah
kabar itu sampai ke Rasulullah Saw., beliau lantas menjelaskan bahwa
tayammum untuk mandi janabah dilakukan sama persis dengan tayammum
sebagai pengganti wudhu, yaitu cukup wajah dan telapak tangan saja.
Selanjutnya dibacakan 10 hadits Nabi Saw. dari kitab Shahih Bukhari bab
tayammum. Salah satu audiens Pengajian Ramadhan Kanzus Solawat di
kediaman Maulana Habib Luthfi bin Yahya ada yang mempertanyakan fenomena
tayammum di atas pesawat terbang yang jamak dilakukan oleh jamaah haji
asal Indonesia.
Dijawab oleh sang moderator, santri alumnus PP
Lirboyo, bahwa tayammum yang biasa dilakukan di pesawat atau bus dengan
menggunakan media kursi atau kaca dianggap tidak sah karena meski ada
debunya tapi tidak memenuhi syarat untuk tayammum. Kedudukan shalat
dalam keadaan seperti itu semata-mata hanya untuk lihurmatil waqti
(memuliakan waktu). (Syarah al-Bajuri juz 1 hlm. 201, al-Majmu' juz 2
hlm. 245 dan Ahkamul Fuqaha Keputusan Muktamar NU Ke-28 di Pondok
Pesantren Al-Munawir Krapyak 1410 H/1989 M).
Sedangkan shalat
Lihurmatil Waqti adalah shalat yang dilakukan seseorang sekadar
penghormatan terhadap waktu akibat tidak terpenuhinya syarat-syarat
menjalankan shalat seperti suci dari hadats kecil atau besar, suci badan
dan tempat shalatnya dari najis dan lain-lain. Shalat yang dilakukan
dalam kondisi semacam ini menurut Syafi’iyyah wajib diulangi meskipun
sudah menggugurkan tuntutan kewajiban shalat baginya saat itu. Dalam
arti andai setelah shalat ia meninggal dunia, dirinya tidak dihukumi
meninggalkan shalat dan maksiat.
Kemudian Maulana Habib Luthfi
turut memberikan tanggapan, bahwa "turab" (debu) di pesawat bukanlah
turab. Untuk memenuhi syarat sahnya tayammum saja belum terpenuhi,
sebelum membahas lebih lanjut ke hukum shalatnya. Yang dimaksud
turab/debu itu ya yang dari debu-tanah, bukan dari pesawat. Maka
otomatis tidak perlu melakukan tayammum. Cukup lakukan shalat Lihurmatil
Waqti daripada harus memaksakan diri untuk bertayammum, padahal
memenuhi syarat sahnya tayammum saja belum.
Mengapa harus dengan
debu? "Karena dalam debu terkandung zat vinisilin murni (100%) untuk
kesehatan, menutupi sel-sel yang diperlukan terutama oleh tangan dan
wajah. Jadi bukan sembarangan turab (debu). Debu ini hubungannya terkait
erat dengan jantung dan otak." Tutur Maulana Habib Luthfi seraya
menjelaskan dengan panjang, lebar dan gamblang sisi ilmiah dan hikmah di
balik pemakaian debu dalam tayammum sebagai ganti jika tidak didapati
air dalam bersuci.
Habib Luthfi bin Yahya juga menjelaskan
tata-cara shalat di atas kendaraan, antara di atas onta, pesawat, bus
dan kapal laut saling berbeda-beda cara mengerjakannya. Para ulama telah
menjelaskannya secara gambalang di kitab-kitab fiqih. Juga peran ilmu
falak dalam kajian ini sangat diperlukan. "Maka jika tidak belajar ilmu
falak (dalam hal ini) tidak akan faham!" kata Habib Luthfi bin Yahya
setelah menjelaskan secara gamblang korelasi ilmu falak dengan kinerja
pesawat terbang yang berbeda jauh dengan kendaraan bus dan kapal laut.
"Ada yang memaksakan diri mengaplikasikan shalat di atas kereta,
misalnya, menyamakannya dengan yang pernah dilakukan Rasulullah di atas
onta. Padahal onta tidak bisa serta merta disamakan dengan kereta,
pesawat, dlsb." Lanjut Habib Luthfi.
Fiqih itu hampir setiap jam
berubah, karena fiqih selalu mengikuti situasi. Antar negara itu situasi
dan kebudayaannya berbeda-beda. Satu Mesir saja pembagian waktunya
tidak sama, merupakan daerah tropis yang hanya memiliki dua musim; panas
dan hujan. Begitupula dengan negara-negara lain seperti Hadhramaut,
berbeda dengan Mesir dan Indonesia. Semua itu oleh para ulama ahli
ijtihad dikuasai betul. Syarat ijtihad sangat sulit.
Kemudian
Habib Luthfi juga menyinggung fenomena mukena tugel (potongan) dan tato.
Menurutnya memahami hukum fiqih harus disertai mengetahui
alternatif-alternatif yang telah dirumuskan oleh para ulama, dari yang
paling hati-hati hingga yang paling mudah. Karena objek dakwah tidak
berasal dari satu warna, maka menguasai hal tersebut adalah hal yang
niscaya agar bisa diterima objek dakwah. "(Bentuk) Ihtiyath
(kehati-hatian) para ulama itu sangat banyak. Ilmu ulama begitu luas,
mengapa harus dipersempit?" Pungkas Habis Luthfi bin Yahya.
(Sumber: facebook Syaroni As-Samfuriy)
0 comments:
Post a Comment