Animasi Logo NU

  • Terkini!

    June 9, 2016

    NGAJI HADITS BERSAMA MAULANA AL HABIB LUTHFI BIN YAHYA (BAG. 3)

    Kajian Ramadhan Habib Luthfi bin Yahya: Shahih Bukhari BAB TAYAMUM
    Setelah malam sebelumnya mengaji tafsir, malam ini (Rabu, 8/6/2016) diselingi dengan kajian hadits Shahih Bukhari. Alkisah, pernah ada seorang sahabat berguling-guling di tanah karena ia harus mandi besar karena ketiadaan air. Ia mengira, bahwa ia harus melumuri tubuhnya dengan debu. Sebab ia beranalogi kalau wudhu yang mengusap hanya wajah, kepala, tangan dan kaki diganti dengan tayammum yang mengusap wajah dan telapak tangan, maka mandi janabah (junub) yang harus membasuh seluruh tubuh diganti dengan tayammum seluruh tubuh.
    Setelah kabar itu sampai ke Rasulullah Saw., beliau lantas menjelaskan bahwa tayammum untuk mandi janabah dilakukan sama persis dengan tayammum sebagai pengganti wudhu, yaitu cukup wajah dan telapak tangan saja.
    Selanjutnya dibacakan 10 hadits Nabi Saw. dari kitab Shahih Bukhari bab tayammum. Salah satu audiens Pengajian Ramadhan Kanzus Solawat di kediaman Maulana Habib Luthfi bin Yahya ada yang mempertanyakan fenomena tayammum di atas pesawat terbang yang jamak dilakukan oleh jamaah haji asal Indonesia.
    Dijawab oleh sang moderator, santri alumnus PP Lirboyo, bahwa tayammum yang biasa dilakukan di pesawat atau bus dengan menggunakan media kursi atau kaca dianggap tidak sah karena meski ada debunya tapi tidak memenuhi syarat untuk tayammum. Kedudukan shalat dalam keadaan seperti itu semata-mata hanya untuk lihurmatil waqti (memuliakan waktu). (Syarah al-Bajuri juz 1 hlm. 201, al-Majmu' juz 2 hlm. 245 dan Ahkamul Fuqaha Keputusan Muktamar NU Ke-28 di Pondok Pesantren Al-Munawir Krapyak 1410 H/1989 M).
    Sedangkan shalat Lihurmatil Waqti adalah shalat yang dilakukan seseorang sekadar penghormatan terhadap waktu akibat tidak terpenuhinya syarat-syarat menjalankan shalat seperti suci dari hadats kecil atau besar, suci badan dan tempat shalatnya dari najis dan lain-lain. Shalat yang dilakukan dalam kondisi semacam ini menurut Syafi’iyyah wajib diulangi meskipun sudah menggugurkan tuntutan kewajiban shalat baginya saat itu. Dalam arti andai setelah shalat ia meninggal dunia, dirinya tidak dihukumi meninggalkan shalat dan maksiat.
    Kemudian Maulana Habib Luthfi turut memberikan tanggapan, bahwa "turab" (debu) di pesawat bukanlah turab. Untuk memenuhi syarat sahnya tayammum saja belum terpenuhi, sebelum membahas lebih lanjut ke hukum shalatnya. Yang dimaksud turab/debu itu ya yang dari debu-tanah, bukan dari pesawat. Maka otomatis tidak perlu melakukan tayammum. Cukup lakukan shalat Lihurmatil Waqti daripada harus memaksakan diri untuk bertayammum, padahal memenuhi syarat sahnya tayammum saja belum.
    Mengapa harus dengan debu? "Karena dalam debu terkandung zat vinisilin murni (100%) untuk kesehatan, menutupi sel-sel yang diperlukan terutama oleh tangan dan wajah. Jadi bukan sembarangan turab (debu). Debu ini hubungannya terkait erat dengan jantung dan otak." Tutur Maulana Habib Luthfi seraya menjelaskan dengan panjang, lebar dan gamblang sisi ilmiah dan hikmah di balik pemakaian debu dalam tayammum sebagai ganti jika tidak didapati air dalam bersuci.
    Habib Luthfi bin Yahya juga menjelaskan tata-cara shalat di atas kendaraan, antara di atas onta, pesawat, bus dan kapal laut saling berbeda-beda cara mengerjakannya. Para ulama telah menjelaskannya secara gambalang di kitab-kitab fiqih. Juga peran ilmu falak dalam kajian ini sangat diperlukan. "Maka jika tidak belajar ilmu falak (dalam hal ini) tidak akan faham!" kata Habib Luthfi bin Yahya setelah menjelaskan secara gamblang korelasi ilmu falak dengan kinerja pesawat terbang yang berbeda jauh dengan kendaraan bus dan kapal laut.
    "Ada yang memaksakan diri mengaplikasikan shalat di atas kereta, misalnya, menyamakannya dengan yang pernah dilakukan Rasulullah di atas onta. Padahal onta tidak bisa serta merta disamakan dengan kereta, pesawat, dlsb." Lanjut Habib Luthfi.
    Fiqih itu hampir setiap jam berubah, karena fiqih selalu mengikuti situasi. Antar negara itu situasi dan kebudayaannya berbeda-beda. Satu Mesir saja pembagian waktunya tidak sama, merupakan daerah tropis yang hanya memiliki dua musim; panas dan hujan. Begitupula dengan negara-negara lain seperti Hadhramaut, berbeda dengan Mesir dan Indonesia. Semua itu oleh para ulama ahli ijtihad dikuasai betul. Syarat ijtihad sangat sulit.
    Kemudian Habib Luthfi juga menyinggung fenomena mukena tugel (potongan) dan tato. Menurutnya memahami hukum fiqih harus disertai mengetahui alternatif-alternatif yang telah dirumuskan oleh para ulama, dari yang paling hati-hati hingga yang paling mudah. Karena objek dakwah tidak berasal dari satu warna, maka menguasai hal tersebut adalah hal yang niscaya agar bisa diterima objek dakwah. "(Bentuk) Ihtiyath (kehati-hatian) para ulama itu sangat banyak. Ilmu ulama begitu luas, mengapa harus dipersempit?" Pungkas Habis Luthfi bin Yahya.
    (Sumber: facebook Syaroni As-Samfuriy)
    • Google Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: NGAJI HADITS BERSAMA MAULANA AL HABIB LUTHFI BIN YAHYA (BAG. 3) Rating: 5 Reviewed By: Situs Resmi KMNU Undip
    Scroll to Top