Animasi Logo NU

  • Terkini!

    August 20, 2021

    SEBUAH CATATAN KECIL: MEMBACA KEMBALI PERJUANGAN KIAI HASYIM ASY’ARI DALAM FILM SANG KIAI


     

    Bulan Agustus merupakan bulan yang sangat bersejarah bagi kita semua, bagaiman tidak? Tepat pada tanggal 17 Agustus kita semua memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, hari dimana kita memproklamasikan kemerdekaan kita, melalui Bung Karno dan Bung Hatta. Bagi warga Nahdliyin, memperingati Kemerdekaan merupakan sesuatu yang barangkali menjadi keharusan sebagai wujud cinta tanah air serta untuk mengenang jasa dan perjuangan pendahulu kita, termasuk para Kiai dan santri yang ikut berjuang dalam kemerdekaan Indonesia. Dalam jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) mengajarkan kepada kita untuk mencintai tanah air, karena mencintai tanah air merupakan sebagian dari iman.

    Mengingat cinta tanah air di kalangan nahdliyin, rasanya menonton film Sang Kiai merupakan salah satu ikhtiar untuk mengerti, memahami dan membaca Kembali sejarah dan perjuangan ulama NU yang berperan dalam memperjuangkan tanah air. Paling tidak Film Sang Kiai menjadi suatu alternatif dalam membaca secuil informasi atas apa yang telah dilakukan oleh guru-guru, ulama, dan kiai kita terdahulu dalam mengambil sikap dan ambil bagian dalam upaya melawan kolonialisme di Indonesia. Memang, Sang Kiai bukan merupakan film yang baru, namun masih cukup relevan untuk disimak bersama dalam rangka membaca kembali perjuangan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, seorang Tuan Guru Besar pendiri organisasi islam, Nahdlatul Ulama (NU) yang memiliki basis masa cukup besar di Indonesia, bahkan kini memiliki Pengurus Cabang Istimewa (PCI) di luar negeri.

    Tulisan ini bermaksud membaca kembali bagaimana perjuangan Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia yang divisualkan melalui film Sang Kiai garapan sutradara Rako Prijanto dan diproduksi oleh Rapi Films. Dalam mengupas isi dan membuat catatan kecil film ini, penulis telah menonton untuk kesekian kalinya sejak pertama tayang di layar lebar pada tahun 2013 dan sempat diputar dalam kegiatan nonton bareng di sebuah komunitas di Kendal. Beberapa poin penting dalam tulisan ini dijabarkan ke dalam 4 sub-bahasan: Konsep Kemerdekaan Pesantren adalah Kemandirian; Diplomasi Tingkat Tinggi dan Strategi Politik Kiai; Resolusi Jihad dan Perjuangan Melawan Penjajah; dan Sebuah Refleksi: Agama dan Nasionalisme.

     

    Konsep Kemerdekaan Pesantren adalah Kemandirian Pangan

    Jika kita banyak membaca dari informasi-informasi sejarah, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan salah satu tokoh yang memperjuangkan kemandirian dalam setiap hal. Tidak dapat dipungkiri bahwa ikhtiar untuk berdiri di atas kaki sendiri dan berkedaulatan atas pangan selalu ditekankan oleh beliau. Hal ini tentu tercermin dari konsep pesantren yang dikembangkan oleh beliau di Pondok Pesantren Tebuireng yang mandiri dengan. Bahkan dalam Film Sang Kiai, menit awal 2.35 Sang Kiai menekankan bahwa kita harus bisa mandiri, pesantren tidak boleh membebani biaya pada santri. Artinya apa, bahwa tidak semua santri dan wali santri harus membawa hasil bumi sebagai syarat masuk pesantren, tergantung pada kemampuan setiap individu, sehingga tidak ada santri yang ditolak hanya karena tidak memiliki hasil bumi.

    Sang Kiai digambarkan melaksanakan aktivitas bertani dan berdagang dengan terjun secara langsung agar merasakan jerih payah dan menghargai nasi yang dimakan oleh kita. Barangkali penulis menyimpulkan konsep kemandirian pesantren yang digambarkan Kiai Hasyim Asy’ari dalam Film Sang Kiai merupakan suatu konsep kemerdekaan pesantren. Bahwa pesantren tidak boleh dikungkung dalam penjara finansial. Sehingga, santri bisa pula dengan merdeka mengikuti aktivitas transfer pengetahuan dari Kiai tanpa harus dibebankan pada persoalan pembiayaan ataupun finansial.

    Kemerdekaan pesatren ini tentu dibarengi dengan kesadaran bahwa negeri dan potensi alam di lingkungan sekitar sangat luar biasa. Pada menit ke 7.08 Kiai Hasyim menyatakan bahwa negeri Indonesia itu tanahnya subur dan memiliki rakyat yang banyak, tetapi melah menjadi negeri jajahan. Kesadaran ini tentu juga melatarbelakangi spirit kemandirian yang digemborkan dalam pesantren Tebuireng dengan pesawahan yang dikelola dari oleh dan untuk pesantren itu sendiri, sebagai pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari di pesantren. Perhatian Kiai Hasyim terhadap kemandirian pangan tentu terlihat dari upayanya dalam menyampaikan dakwah tentang keutamaan bertani dan bercocok tanam.

    Dalam satu scene di Film Sang Kiai, digambarkan bahwa ketika Pendudukan Jepang, Kiai Hasyim sempat menulis dalam majalah Suara Muslimin Indonesia tentang anjuran memperbanyak hasil bumi dan menyuburkan tanah. Meski sempat terjadi pro dan kontra karena tulisan atau pendapat beliau dianggap mendukung dan membela pemerintah jepang yang meminta menyetorkan hasil bumi. Padahal, beliau melalui masyumi hanya menyerukan untuk mengolah tanah dan melipatgandakan hasil bumi tidak meminta menyetor kepada Jepang. Pada menit 58.00 digambarkan bahwa seruan Jepang untuk melipatgandakan hasil bumi direspon oleh Kiai Wahid karena belum tau kepentingan maksud dan tujuannya, kemudia Kiai Hasyim berbicara kepada Kiai Wahid untuk mengikuti saja terlebih dahulu, ketika terjadi penyelewengan maka harus ditolak. “Sesuatu ketaatan apabila bercampur kemaksiatan yang tampak jelas, harus ditolak,” kata Kiai Hasyim.

     

    Diplomasi Tingkat Tinggi dan Strategi Politik Kiai

    Dalam Film Sang Kiai, kita dapat membaca secara bagaimana perjuangan dan strategi yang dilakukan oleh Kiai Hasyim Asy’ari dalam ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui cara-cara yang diplomatis dan penuh strategi. Jika dilihat secara seksama, banyak sekali visualisasi yang digambarkan dalam Film Sang Kiai terkait aktivitas diplomasi antara Kiai Hasyim Asy’ari dengan penjajah. Melalui Kiai Wahid, Kiai Hasyim merestui adanya sebuah strategi politik untuk berpura-pura bekerja sama dengan Jepang memanfaatkan fasilitas Jepang dalam mempersiapkan kemerdekaan serta membentuk panitia pembelaan terhadap ulama-ulama NU yang ditangkap Jepang.

    Selain itu, beberapa strategi yang dilakukan oleh Kiai Hasyim adalah dengan masuk ke dalam tubuh Shumubu (Kementerian Agama di masa Penjajahan Jepang). Kiai Hasyim melihat bahwa ketidaktahuan Jepang antara Shumubu dan Masyumi yang berbeda menjadi sebuah kesempatan agar bisa memperjuangkan Indonesia dari dalam, dengan masuk ke Shumubu artinya bisa mengambil kebijakan yang tidak merugikan rakyat. Kesempatan masuk ke Shumubu diwakilkan kepada putranya, Kiai Hasyim Asy’ari.

    Yang lebih menarik adalah diplomasi Kiai Hasyim yang melakukan perundingan terkait tawaran Jepang untuk memberikan pelatihan militer dengan masuk Heiho. Pandangan futuristis Kiai Hasyim akan pasukan militer untuk menjaga pertahanan negeri sangat diperlukan. Sehingga, ketika Jepang menawarkan para santri masuk Heiho dan bertempur melawan sekutu, ditolak dengan elegan oleh Kiai Hasyim, dengan menegosiasi membentuk barisan tersendiri dalam Pelatihan Militer bernama Barisan Hisbullah, sebatas menjaga pertahanan dalam negeri. “Sebatas menjaga pertahanan negeri, tidak masuk ke dalam Heiho tapi membentuk barisan tersendiri, bernama Hisbullah,” ujar Kiai seperti divisualkan dalam Film Sang Kiai pada menit 1.22.00.

    Tidak berlebihan, jika kita menyebut beberapa strategi dan negosiasi dalam memanfaatkan Jepang tentunya menjadi sebuah diplomasi tingkat tinggi ala Kiai Hasyim, sehingga, kelak ketika Indonesia sudah menjadi negeri yang merdeka akan mendapatkan kebermanfaatan dari aktivitas dan pelatihan militer yang dilakukan oleh Jepang, termasuk masuknya Kiai Wahid dalam tubuh Shumubu yang merupakan cikal bakal Kementerian Agama Republik Indonesia.

     

    Resolusi Jihad dan Perjuangan Melawan Penjajah

    Pengorbanan Kiai Hasyim Asy’ari dalam memperjuangkan dan mempetahankan kemerdekaan kiranya sangat paripurna. Bagaimana tidak, hal itu beliau lakukan hingga pada akhir hayatnya masih memikirkan bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang telah dideklarasikan oleh Bung Karno. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Kiai Hasyim memiliki dampak yang sangat besar dalam perjuangan kemerdekaan yang sesungguhnya. Fatwa beliau tentang mempelajari bahasa asing dan menulis huruf latin misalnya, barangsiapa yang memahami bahasa asing akan terhindar dari muslihatnya. Saat itu banyak yang mencerca, tetapi kemudian manfaatnya bisa dirasakan karena pendudukan Jepang yang hanya memperbolehkan surat menyurat menggunakan huruf latin.

    Fatwa lain yang cukup masyhur adalah terkait Jihad Fi Sabilillah. Dimana saat itu, Bung Karno meminta fatwa dari Kiai Hasyim akan hukum membela tanah air –bukan membela Allah, Islam maupun Al-Qur’an. Kemudian keluarlah fatwa yang telah dimusyawarahkan oleh Kiai dan Ulama NU, bahwa membela negara dan melawan penjajah adalah fardhu ain, bagi setiap mukallaf yang berada dalam radius 94 kilometer. Perang melawan penjajah adalah jihad fisabilillah, oleh karena itu umat Islam yang mati dalam peperangan adalah sahid. Mereka yang menghianati perjuangan umat Islam dengan memecahbelah persatuan dan menjadi kaki tangan penjajah wajib hukumnya dibunuh.

    Dari fatwa itu pulalah, yang menjadi dasar Bung Tomo untuk sowan dan meminta restu kepada Kiai Hasyim untuk membaca pidato sebelum berperang dan menggelorakan semangat arek-arek suroboyo. Kemudian Kiai Hasyim berpesan kepada Bung Tomo untuk memulai dan mengakhiri setiap pidato dengan menyebut takbir, tanda kebesaran Allah. Pidato Bung Tomo inilah yang menjadi pemantik api semangat arek-arek suroboyo dalam berperang melawan sekutu mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

    Bahkan, perjuangan Kiai Hasyim yang selama ini dilakukan melalui jalur diplomasi tidak cukup karena beliau melihat perjuangan masyarakat dan santri berperang langsung. Sehingga beliau sempat meminta kepada putranya untuk dilatih menembak. “Belanda akhirnya akan sampai sini. Setidaknya, Lebih baik Bapak mati melawan daripada ditawan belanda. Setidaknya, sebelum Bapak mati, masih bisa menembak satu dua Belanda yang berani datang,” dawuhnya seperti divisualkan dalam Film Sang Kiai.

    Di akhir hayat beliau, seperti yang divisualkan dalam Film Sang Kiai, Kiai Hasyim sempat diminta fatwa oleh utusan Jenderal Soedirman terkait sepak terjang Belanda yang sangat mengkhawatirkan dan menduduki tempat-tempat strategis. Mendengar beberapa kabar tersebut, Kiai Hasyim akhirnya meninggal secara mendadak karena pendarahan yang sangat serius di otak.

     

    Sebuah Refleksi: Agama dan Nasionalisme

    Keteladanan dan dawuh-dawuh yang telah banyak disampaikan Kiai Hasyim Asy’ari paling tidak bisa dijadikan oleh kaum muslimin untuk tidak berhenti mempertahanankan kemerdekaan dan mencintai tanah air. Jangan sampai kaum muda muslimin justru menjadi pengkhianat di negeri sendiri dengan melakukan perpecahan hanya karena agama. “Kita tidak boleh membiarkan pemerintah kafir mengambil alih negeri kita kembali, motif agama adalah yang paling tepat digunaan saat ini, berdasarkan izzul islam wal muslimin. Motif agama lalu motif nasionalisme,” pesan Kiai Hasyim Asy’ari.

    Barangkali pendapat Kiai Wahid dalam film Sang Kiai jadi pedoman kita untuk beragama dan bernegara, “Agama dan nasionalisme bukanlah dua kutub yang saling berseberangan. Berawal dari agama, lalu akan timbul nasionalisme. Nasionalisme adalah bagian dari agama,” ujar Kiai Wahid. Pesan ini nampaknya jadi refleksi kita saat ini yang masih sering membenturkan antara konsep beragama dan bernegara. Film Sang Kiai memberikan kita banyak pelajaran, terutama bagi kaum muda muslim untuk selalu mengkombinasikan sikap cinta tanah air sebagai bagian dari kehidupan beragama.

    Meski film pada dasarnya adalah sebuah tontonan fiksi, namun banyak di antaranya yang merupakan sejarah yang teramat penting. Paling tidak kita bisa film ini bisa dijadikan refleksi untuk melihat dan membaca kembali secara langsung bagaimana gambaran perjuangan tokoh kita, Rais Akbar Nahdlatul Ulama, Kiai Hasyim Asy’ari. Semoga kita semua dimasukkan ke dalam golongan dari santri beliau, seperti dalam dawuhnya: Siapa yang mengurus NU, saya anggap santriku.

     

    17 Agustus 2021

    • Google Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: SEBUAH CATATAN KECIL: MEMBACA KEMBALI PERJUANGAN KIAI HASYIM ASY’ARI DALAM FILM SANG KIAI Rating: 5 Reviewed By: Situs Resmi KMNU Undip
    Scroll to Top